Salam setara, Perempuan Pelita hadir untuk sahabat Marsinah tiap Kamis jam 19.00 hingga 20.00. Malam ini adalah Perempuan Pelita Edisi ke 12, di Minggu ke 4 Agustus 2012. Sebelumnya, kami segenap kru marsinah 106 FM mengucapkan selamat Idul Fitri 1433 H, mohon maaf lahir dan batin. Juga kami sampaikan selamat hari kemerdekaan untuk seluruh rakyat Indonesia, Tahun Merdeka ke 67. Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya dan untuk itulah Perempuan Pelita kali ini hadir menyajikan lima pejuang perempuan yang memiliki peran teramat besar bagi perjuangan kemerdekaan baik bagi perempuan maupun bangsanya. Siapakah mereka? (jingle marsina fm + iklan perempuan pelita)
“Bangsa Aceh, bangsa perbuatan, kalah ribuan kali, berjuang ribuan kali tak pernah berhenti melawan” Demikian kutipan dalam novel Bumi Manusia, karya Pramudya Ananta Tur tentang Aceh yang sedari dulu tak pernah berhenti melawan penindasan, kala itu Belanda. Mengenal Aceh kita akan pula diperkenalkan dengan tokoh-tokoh pejuangnya, salah satunya adalah Cut Nyak Dien yang hingga akhir hayatnya tak pernah sudi tunduk pada penjajah Belanda.
Waktu itu, di tengah belantara hutan, Anaknya, Cut Gambang, meraung-raung meratapi kematian ayahandanya, Teuku Umar. Dengan dingin, Cut Nyak Dien menampar dan menggertak anak perempuannya
“Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid” ] |
|
Ya, Teuku Umar, suami Cut Nyak Dien yang kedua telah meninggal di medan perang pada tahun 1899, melawan Belanda. Getir yang dirasakan Cut Nyak Dien ini bukan yang pertama. Kematian demi kematian kawan dan keluarga telah memenuhi hidupnya jauh sebelumnya. Perang melawan Belanda memang bukan hal baru bagi rakyat Aceh termasuk Cut Nyak Dien. Dendam Cut Nyak Dien cukup dalam, kematian suaminya yang terdahulu di medan perang, Ibrahim Lamnga pada tahun 1878 membuat Cut Nyak Dien berang dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. Dendam- dendam yang sama juga mengakar di benak rakyat Aceh, dendam terhadap penindasan.
Kala itu, ketika matari sedang terik, seorang pemuda Aceh mendatangi rumah Cut Nyak Dien untuk melamarnya. Penolakan langsung terlontar dari mulut Cut Nyak Dien, namun kemudian Perempuan Aceh ini berubah pikiran ketika Pemuda tersebut yang kemudian diketahui adalah Teuku Umar, memperbolehkannya serta dalam peperangan melawan Belanda.
Cut Nyak Dien sendiri terlahir di keluarga bangsawan di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukum yang juga keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Sementara Ibu Cut Nyak Dien merupakan putri uleebalang Lampagar, keturunan Minangkabau. Sebagai anak dari keluarga bangsawan, Cut Nyak Dien memperoleh pendidikan baik bidang agama maupun pekerjaan rumah tangga. Di usianya yang masih belia, yakni 12 tahun, Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga pada tahun 1862, putra uleebalang Lamnga XIII dan memiliki satu anak lelaki.
Pasca kematian Teuku Umar, Cut Nyak Dien, memimpin perlawanan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien beserta pasukannya tak pernah berhenti melawan Belanda hingga kekalahannya pada 1901. Hal ini dikarenakan tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan wilayah Aceh dan Cut Nyak Dien sudah semakin renta. Kerabunan matanya dan encok yang menyerangnya membuat kondisi fisik Cut Nyak Dien melemah. Apa lagi pasukannya mulai berkurang jumlahnya dan sulit mencari persediaan makanan.
Iba dengan kondisi kesehatan Cut Nyak Dien yang kian memburuk, anak buah Cut Nyak Dien bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu dan pasukan Cut Nyak Dien porak poranda. Cut Nyak Dien pun dibawa ke Banda Aceh, dirawat hingga sembuh dan diasingkan ke Sumedang. Pengasingan Cut Nyak Dien ke Sumedang, bukan tanpa alasan, pihak Belanda takut kehadirannya di tengah masyarakat Aceh akan menyulut semangat perlawanan rakyat Aceh. Sementara, anaknya, Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.[1]
Dalam pengasingan di Sumedang, kesehatan Cut Nyak Dien terus menurun. Di usianya yang sudah menua, pada 6 November 1908, Cut Nyak Dien meninggal. Makamnya baru diketemukan pada tahun 1959 dan pada tahun 1964, ia diakui sebagai pahlawan nasional. Kisahnya tentu saja akan menjadi panutan bagi kaumnya, bahwa tiada boleh kita menyerah mana kala kita menuntut hak dan kemerdekaan kita sebagai manusia dan bangsa.
Cukup menggetarkan sosok Cut Nyak Dien ini ya, bila sahabat Marsinah sudah pernah menonton film tentang Cut Nyak Dien yang diperankan Christin Hakim tentu sahabat Marsinah akan terpukau juga oleh sosoknya yang tegas dan berani. Film ini konon merupakan film pertama di Indonesia yang serta dalam festival film Cannes. Kisah – kisah pejuang perempuan tidak berhenti di Cut Nyak Dien, setelah lagu yang satu ini kita akan bersua lagi dengan salah satu pejuang perempuan kita dari Indonesia bagian Timur. Masih di Perempuan Pelita, marsinah 106 FM. (lagu)
Perempuan satu ini memiliki pengalaman yang sama dengan Cut Nyak Dien dalam berjuang melawan Belanda, yakni berperang. Berperang melawan Belanda bukanlah hal baru bagi perempuan ini, ia adalah Christina Martha Tiahahu, seorang perempuan pejuang dari Maluku. Bukan hal baru bagi Martha untuk berperang karena ia sendiri adalah putri pemimpin dan pejuang rakyat Maluku bernama Kapitan Paulus Tiahahu. Ia terlahir d Nusa Laut Maluku pada 4 Jauari 1800
Semangat perlawanan Marta Tiahahu juga tak lepas dari semakin luasnya perlawanan rakyat Saparua yang dipimpin oleh Kapitan Patimurra. Meski waktu itu, ia masih sangat belia, Marta Tiahahu ikut berperang bersama sang ayah, Kapitan Paulus Tiahahu. Bahkan Martha dan ayahandanya berhasil merebut benteng Beverwijk.
Belanda seakan tidak pernah kehabisan akal menghadapi perlawanan rakyat Nusantara. Untuk memadamkan perlawanan rakyat Nusa Laut, Belanda mengerahkan armada laut yang amat besar dengan persenjataan modern. Akibatnya, rakyat Nusa Laut yang dipimpin Marta Tiahahu dan sang ayah terpaksa menelan kekalahan dan Benteng Beverijk berhasil direbut kembali oleh Belanda pada 10 November 1817.
Dengan kekalahan tersebut, Martha dan ayahnya akhirnya ditangkap oleh Belanda. Paulus Tiahahu dijatuhi hukuman mati. Ia ditembak di hadapan rakyat Nusa Laut, sehingga rakyat akan semakin takut melawan. Sementara itu, Martha dibebaskan karena usianya yang masih sangat belia. Di depan matanya, sang ayah meregang nyawa ditembak mati oleh Belanda. Hal itu menanamkan dendam di benak gadis cilik itu. Karena itu setelah menghirup udara kebebasan, Martha kembali menyusun perlawanan terhadap Belanda. Namun, sekali lagi ia beserta 39 pejuang lainnya berhasil diringkus oleh Belanda dan kemudian dibuang di Pulau Jawa. Di dalam perjalanan menuju Pulau Jawa, di atas kapal, Martha jatuh sakit dan menolak meminum obat yang diberikan Belanda hingga akhirnya ia meninggal. Sosok Christina Martha Tiahahu yang pantang menyerah dan berani menimbulkan simpati seorang perwira Angkatan Laut Belanda yang kemudian secara diam-diam menurunkan jenasahnya dari kapal. Di usianya yang masih belia, Martha telah mengajarkan pada kita semua arti keberanian. Tentang keberanian, Pramoedya Ananta Toer berujar “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”
Ya benar adanya penuturan almarhum Pramudya Ananta Tur, salah satu tokoh sastrawan kita. Keberanian adalah satu terpenting yang mesti kita punya dalam menjalani hidup. Hal itulah yang dimiliki oleh para pejuang perempuan terdahulu dan sebagai generasi masa kini, kita hendaknya memiliki keberanian pula. Masih akan kita lanjutkan perjalanan menyelusuri jejak langkah perempuan pejuang Indonesia, dengan perempuan pejuang yang lain. Siapakah dia, kita akan simak setelah tembang berikut ini.
Banyak cara untuk berjuang, tidak hanya dengan memanggul senjata dan berperang namun juga dengan pena dan pendidikan. Berjuang, baik itu dengan berperang maupun menulis atau lewat pendidikan, sama – sama memberikan sumbangan yang besar bagi perjuangan kemerdekaan atau pembebasan manusia. Kartini, Dewi Sartika dan Rohana Kudus adalah beberapa dari pejuang perempuan yang berjuang dengan menuangkan tulisan dan bergerak melalui pendidikan. Kartini atau Raden Ajeng Kartini adalah salah satu sosok yang kerap menuangkan gagasan kemerdekaannya sebagai perempuan dan bangsa melalui tulisan. Gagasannya yang demikian maju melampaui jamannya menggemparkan nusantara maupun Belanda sendiri. Meski tulisan-tulisannya kepada Abandenon kerap menjadi kontroversi karena diragukan kebenarannya, namun keberadaan pemikiran Kartini tetap diakui hingga kini. Seorang sastrawan terkemuka, Pramudya Ananta Tur, mengabadikannya dalam karyanya “Panggil Aku Kartini Saja” dan sempat menuliskan kisahnya dalam karya tetralogi Rumah Kaca. “Barang siapa tidak berani, dia tidak bakal menang; itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!” Begitulah ucap Kartini dalam novelnya “Panggil Aku Kartini saja”
Kartini sendiri terlahir dari keluarga bangsawan pada 21 April 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, ia tidak diperkenankan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orang tuanya. Ia menghabiskan waktunya di pingitan sejak lulus Sekolah Dasar. Meski ia bersedih dan marah atas situasi tersebut, Kartini tidak berani menolak. Untuk menghilangkan kesedihannya, Kartini mengumpulkan buku- buku pelajaran dan ilmu pengetahuan lainnya yang dibaca. Memang, Kartini memiliki minat baca yang tinggi. Hal inilah yang kelak kemudian membentuk konsep berpikirnya.
Kartini membaca banyak buku para pemikir Eropa. Dari kegemarannya membaca inilah, ia berkenalan dengan gerakan perempuan Eropa yang begitu dikaguminya. Dari sinilah, Kartini memiliki cita untuk memajukan perempuan Indonesia sebagaimana yang diperjuangkan perempuan Eropa dan telah mencapai kebebasan lebih dibanding perempuan Indonesia yang masih terjajah tidak hanya oleh budaya patriarki tapi juga penjajahan kolonialisme. Dipicu oleh keinginan yang besar tersebut, Kartini mulai mengumpulkan teman- teman perempuannya dan mengajarkan baca tulis kepada mereka. Ia pun menulis surat kepada Mr. J. H Abandenon dan memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.
Tulisan Kartini kepada Abandenon menggemparkan nusantara dan Belanda. Di kemudian hari, diketahui juga suratnya kepada sahabatnya Stella seorang feminis sosialis dari Belanda, yang mencerminkan pemikiran progresifnya dan tentu tak mungkin diterbitkan Belanda. Kepada Stella, Kartini menumpahkan ide dan gagasannya, kegalauannya terhadap adat istiadat yang mengungkung kebebasan perempuan hingga tentang agama.
“Tiada berjuang tiada menang; aku akan berjuang, Stella, aku hendak merebut kemerdekaanku. Aku tiada gentar karena keberatan dan kesukaran.… Tetapi ada yang sungguh kusegani. Stella, sudah beberapa kali kuceritakan, aku sayang akan Bapak dengan segenap sukmaku…. Entah akan beranikah aku meneruskan kehendakku, bila akan melukai hatinya.”
Dari surat Kartini di atas tercermin kegelisahan Kartini atas pertentangan batinnya, antara berjuang merebut kemerdekaannya dan kaumnya yang pasti akan menyakiti hati ayahandanya atau mengikuti kemauan sang ayah untuk menikah dan dipoligami pula. Pada akhirnya, dan kita semua sudah mengetahui kisah tragis Kartini. Ia memilih menikah dan dipoligami, suatu hal yang paling ia tolak. Meski demikian, di Rembang, kota tempat ia tinggal setelah menikah dengan Bupati Rembang, Kartini berjuang melalui pendidikan dengan mendirikan sekolah untuk perempuan. Di usia yang masih muda, yakni 25 tahun, Kartini menghembuskan nafas terakhirnya setelah melahirkan putra satu-satunya, Pangeran Sahid. Meski Kartini harus menjalani pernikahan dan urung menjalani beasiswa sekolah di Belanda, namun pemikirannya telah memberikan peran besar bagi gerakan perempuan. Tak sedikit perempuan di zamannya atau setelahnya yang tergerak maju untuk terlibat dalam gerakan merebut kemerdekaan bangsa maupun kemerdekaan perempuan.
Tak hanya Kartini yang berjuang untuk pembebasan perempuan dan bangsanya, Dewi Sartika adalah salah satu perempuan yang berjuang untuk perempuan melalui pendidikan. Dewi Sartika bahkan berhasil mendirikan beberapa sekolah untuk peempuan. Kisahnya akan kita simak setelah tembang spesial berikut ini. Masih bersama saya Memey di Perempuan pelita, radio komunitas Marsinah FM tayang tiap Kamis jam 7 malam hingga jam 8 malam. (Lagu)
Adalah Dewi Sartika, perempuan asal Bandung yang terlahir dalam keluarga priyayi Sunda pada 4 Desember 1884. Orang tuanya, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara bertekad menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya meninggal, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya yang merupakan Patih di Cicalengka. Dari pamannya inilah, ia memperoleh pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari seorang Asisten Residen berkebangsaan Belanda.
Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakatnya sebagai pendidik. Hal itu terlihat dari aktivitasnya mengajari anak- anak para pelayan di rumahnya baca tulis dan bahasa Belanda. Tentu saja kemampuan anak para pelayan tersebut baca tulis dan berbahasa Belanda membuat gempar seisi rumah karena baca tulis, apa lagi bahasa Belanda adalah kemampuan yang hanya dimiliki kalangan terbatas saja.
Ketika menginjak usia remaja, Dewi Sartika kembali lagi pada ibunya di Bandung. Semangatnya untuk mendirikan sekolah perempuan tak pernah padam, apalagi ia mendapat dukungan dari pamannya, Bupati Martanagara, yang memiliki keinginan yang sama. Namun, mewujudkan cita-citanya itu tidaklah mudah karena di masanya tak lazim seorang perempuan mendirikan sebuah sekolah perempuan. Karena alasan itulah Pamannya selalu kuatir bila Dewi Sartika tetap mewujudkan niatya. Akan tetapi karena kegigihannya, akhirya sang paman mengizinkan Dewi Sartika mendirikan sekolah untuk perempuan.
Sebagaimana perempuan pada umumnya, Dewi Sartika memasuki pelaminan pada tahun 1906. Ia menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Suaminya sendiri merupakan guru di sekolah Karang Pamulang, yang kala itu adalah sekolah latihan Guru.
Sejak 1902, Dewi Sartika telah mendirikan sekolahnya yang sederhana. Ia melangsungkan kegiatan belajar mengajar di sebuah ruangan kecil di rumah ibunya di Bandung. Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan, seperti merenda, memasak, jahit menjahit membaca, menulis dan sebagainya.
Baru pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se Hindia Belanda. Tenaga pengajarnya pun masih sedikit, yakni hanya tiga orang: Dewi Sartika dan dua saudara misannya, Ny Purwa dan Nyi Uwid. Murid angkatan pertamanya adalah 20 orang dan menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi “Sakola Raden Déwi”. Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Di usianya yang sudah lanjut, Dewi Sartika pun berpulang pada 11 September 1947 di Tasikmalaya dan dimakamkan di Cigagadon – Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian ia dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di jalan Karang Anyar, Bandung.
Pena lebih tajam dari pisau demikian kata pepatah. Sehingga berjuang dengan pena bisa sama tajam dengan berjuang di medan perang. Keduanya tak bisa dinihilkan perannya. Kita sudah pernah mengenal Siti Soendari yang berjuang dengan pena, menerbitkan koran untuk pembebasan perempuan. Perempuan Pelita kali ini juga akan memperkenalkan sosok perempuan yang juga berjuang dengan pena dan pendidikan. Sebelum kita mengenal lebih dalam sosok perempuan ini, kita perdengarkan terlebih dahulu tembang berikut ini. (lagu)
Masih di Perempuan Pelita, kita beranjak ke Kota Gadang, tempat seorang perempuan pegiat pendidikan, jurnalis dan pejuang perempuan lahir pada 20 Desember 1884. Ia adalah Rohana Kudus. Rohana Kudus lahir sebagai putri dari Mohamad Rasyad Maharaja Sutan dan Kiam. Rohana Kudus adalah kakak tiri Sutan Syahrir, Perdana Menteri Pertama Indonesia dan juga bibi dari Kairil Anwar, sekaligus sepupu H. Agus Salim. Ia hidup sejaman dengan Kartini sehingga memiliki hambatan yang sama untuk memperoleh pendidikan sebagaimana lelaki. Selain itu, Rohana Kudus mendirikan surat kabar pertama di Indonesia, yakni Sunting Melayu.
Di zamannya, Rohana Kudus adalah salah satu dari perempuan yang meyakini bahwa diskriminasi perempuan termasuk dalam hal pendidikan dan akses publik adalah hal yang harus dilawan. Rohana Kudus pun berkomitmen besar untuk melawan diskriminasi tersebut, yakni dengan menyelenggarakan pendidikan bagi perempuan selain menulis dan meerbitkan surat kabar sebagai pencerah pemikiran perempuan.
Tak seperti Kartini, maupun Dewi Sartika, Rohana Kudus tidak memperoleh pendidikan formal. Ia belajar secara otodidak dari sang ayah yang selalu membawakannya buku dan mengajarinya berbahasa Belanda. Karena kehendak belajarnya yang kuat, di usia yang belia Rohana sudah bisa baca tulis dan bahasa Belanda, abjad Arab dan Latin serta Arab – Melayu. Ketika ayahnya bertugas ke Alahan Panjang, Rohana bertetangga dengan pejabat Belanda, atasan ayahnya. Istri pejabat Belanda itulah yang mengajari Rohana menjahit, menyulam, merenda dan merajut yang adalah keahlian perempuan Belanda. Dari mereka pula, Rohana kerap membaca terbitan majalah Belanda yang memuat beragam berita politik, gaya hidup, dan pendidikan Eropa.
Di usianya yang menginjak 24 tahun, Rohana menikah dengna Abdul Kudus yang bekerja sebagai notaris. Rohana mendirikan sekolah ketrampilan khusus perempua pada tahun 1911 yang bernama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Sekolah yang ia dirikan ini mengajarkan ketrampilan untuk perempuan, mengelola keuangan, tulis – baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda. Perjuangan Rohana mendirikan sekolah tidak mudah, banyak rintangan yang ia hadapi. Perjuangan pembebasan perempuan mendapat tentangan dari para pemuka adat dan masyarakat Koto Gadang yang kolot memegang adat istiadat. Salah satunya adalah banyaknya fitnah yang ditujukan padanya.
Demi kelancaran kegiatan belajar mengajar di sekolah yang baru saja ia dirikan, Rohana menjalin kerja sama dengan Pemerintah Belanda. Bentuk kerja sama itu antara lain memesan peralatan dan kebutuhan jahit menjahit untuk kepentingan sekolahnya. Tak hanya itu, Rohana turut menjadi perantara dalam memasarkan kerajinan tangan muridnya ke Eropa. Maka, sekolah yang didirikan Rohana juga berfungsi sebagai idustri rumah tangga, koperasi simpan pinjam hingga jual beli yang semua anggotanya adalah perempuan.
Selain itu, Rohana juga giat menulis puisi maupun artikel serta asih berbahasa Belanda. Dan karena aktifitasnya tersebut Rohana dikenal oleh petinggi Belanda sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatera Barat.
Keaktifannya menulis ini yang kemudian mendorongnya menerbitkan surat kabar bernama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Sunting Melayu pun menjadi surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya semua adalah perempuan.
Perjuangannya tak selalu mulus, pada tahun 1916 ia dituduh menyelewengkan dana sekolah Amai Setia oleh muridnya sendiri. Akibatnya, Rohana kehilangan jabatannya sebagai direktris dan kepala sekolah. Beberapa kali persidangan pun digelar di Bukittinggi. Setelah beberapa kali persidangan, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Rohana bersalah sehingga jabatan di sekolah pun dikembalikan padanya namun ditolak oleh Rohana dengan alasan ia akan pindah ke Bukittinggi. Di Bukittinggi inilah Rohana mendirikan sekolah bernama “Rohana School”. Ia mengelola sekolahnya sendiri hingga sekolah tersebut terkenal dan memperoleh banyak siswa. Hal itu dikarenakan Rohana cukup dikenal sebagai penulis yang baik, dengan pengalaman di bidang pendidikan yang luar biasa. Di bukittinggi ini pula, Rohana menambah ilmunya dengan belajar membordir dari orang China dengan menggunakan mesin jahit Singer. Dari sini pula, Rohana mulai membangun bisnisnya yakni menjadi agen mesin jahit bagi murid sekolahnya sendiri. Tercatat, Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi agen mesin jahit Singer pertama.
Di kemudian hari, Rohana mendapat tawaran mengajar di Dharma Putra. Di sekolah ini ia tidak hanya mengajar siswa perempuan tapi juga siswa lelaki. Rohana mengisi pelajaran ketrampilan menyulam dan merenda. Semua guru di sekolah tersebut adalah lulusan pendidikan formal, kecuali Rohana Kudus. Meski demikian, Rohana tidak hanya pintar mengajar ketrampilan tapi juga mata pelajaran Agama, budi pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra serta tekhnik menulis Jurnalistik.
Kiprah Rohana tidak hanya di bidang pendidikan, ia juga turut membantu gerakan politik melawan Belanda melalui tulisannya. Rohana mempelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk membantu gerilyawan. Dia pula yang mencetuskan gagasan untuk menyelundupkan senjata dari Kotagadang ke Bukittinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayur dan buah- buahan yang lalu dibawa ke Payakumbuh dengan Kereta api
Hingga akhir hayatnya, Rohana masih sempat mengajar dan menerbitkan surat kabar Perempuan Bergerak. Ia juga menjadi redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan Tionghoa – melayu di Padang dan Surat Kabar Cahaya Sumatera. Tertanggal 17 Agustus 1972, akhirnya ia meninggal di usia 88 tahun, meninggalkan kenangan indah berupa pengalaman juang tak terlupakan pada generasi perempuan.
Demikianlah kisah para perempuan pejuang awal bangsa Indonesia, bagian dari sekian banyak perempuan pelaku sejarah yang membawa pelita bagi perempuan dan Bangsa Indonesia. Perempuan siapa lagi yang akan membawa pelita bagi masyarakat dan dunia? Terus ikuti kisah-kisah perempuan hebat, hanya di PEREMPUAN PELITA setiap Hari Kamis jam 19 hingga jam 20, di Radio Buruh Perempuan, MARSINAH 106 FM, dari perempuan buruh untuk kesejahteraan dan kesetaraan.
Lagu penutup segera kita putarkan, Dan saya (nama penyiar) undur diri, salam kesetaraan dan sampai jumpa kamis depan.