Mama Yosepha: Perempuan Tangguh dari Tanah Papua

Perempuan Pelita Edisi 13 Juni 2013

Image

Salam setara sahabat Marsinah, jumpa lagi bersama saya Dias di Rubrik Perempuan Pelita, Marsinah 106 FM. Perempuan Pelita adalah rubrik kesayangan anda yang hadir setiap hari Kamis jam 7 – 8 malam dengan berbagai sosok perempuan yang inspiratif. Kali ini kita akan berkunjung ke tanah Papua, sebuah tanah yang kaya akan emas namun dengan kondisi rakyat yang memprihatinkan dan penuh konflik. Kita akan bertemu dengan sosok perempuan tangguh yang siap memperjuangkan hak – hak rakyat Papua. Siapakah dia? Tetaplah di Perempuan Pelita, Marsinah 106 FM, bersama saya, Dias, setelah tembang yang satu ini. (lagu dan iklan)

 

Suatu hari di tanah Papua, tepatnya di Tsinga, 1940an, lahirlah seorang bayi perempuan yang sehat. Kepadanya diberikan nama Yosepha Alomang. Kelak ia akrab dipanggil Mama Yosepha. Yosepha terlahir sebagai anak yatim piatu dan hidup bersama ayah tirinya. Sejak kecil, Yosepha  hidup berpindah-pindah bersama dengan penduduk desa lainnya, karena perintah pemerintah Belanda dan kemudian pemerintah Indonesia.

  Baca lebih lanjut

Pendiri Marsinah FM, menjadi salah satu kandidat Liputan 6 Award

536213_4519350312806_1419403487_n

http://news.liputan6.com/read/580114/video-tahapan-penjurian-liputan-6-awards-2013-dimulai

Penjurian kandidat liputan 6 award dimulai. 23 Mei 2013, malam liputan 6 award akan digelar. Jumisih, salah satu pendiri Marsinah FM masuk sebagai salah satu kandidat

Deklarasi Bambu Perempuan: Jangan lagi rendahkan perempuan, kami bisa bertahan dan siap melawan

Deklarasi Bambu Perempuan

1. Kami buruh perempuan adalah bagian dari kaum buruh dan kaum perempuan, yang adalah korban dari diskriminasi, pemiskinan dan kekerasan. Kami menanggung beban hidup lebih besar dari seharusnya, karena ada pihak lain yang mengambil sebagian hak kami, pihak lain yang mengambil untung dari beban yang kami tanggung.
2. Kamiburuh perempuan harus melawan dan terus memperkuat diri untuk melawan. Setiap saat perempuan diancam serangan, jadi korban serangan, tak peduli sedang apadan pada waktu apapun.
3. Negara dan pemerintahan yang berdiri juga dari hasil keringat buruh perempuan, sampai saat ini tidak sanggup memberi jaminan perlindungan hak bagi kami. Malah tidak jarang dari pikiran dan mulut para pejabat, yang bergaji tinggi karena hasil keringat kami itu, membela penyerang perempuan dan menyalahkan kami yang jadi korban.
4. Jelas situasi persoalan bagi kaum buruh dan perempuan bukan karena kami kurangdiatur, bukan karena salah perbuatan, bukan karena kurang kerja. Kaum buruh dan terutama perempuan, menjadi korban tidak lain karena pihak yang maunya ambil untung sendiri itu sedang berkuasa, selalu dilindungi dan dibenarkan oleh semua aturan dan aparat dari negara yang berdiri dari hasil keringat kami dan rakyat lainnya.
5. Khusus tentang perkosaan, tentang tindakan tidak manusiawi itu, saat ini makin meraja-lela. Menjadi angin besar yang memaksa perempuan kembali dikunci di rumah. Jelas ini salah! Harus dilawan. Hak perempuan untuk bebas mengembangkan hidup harus dipertahankan dan diperbesar kesempatan. Rumah bahkan bukan tempat aman, jika pikiran merendahkan perempuan itu terus menyebar.
6. Kami buruh perempuan harus bertahan, sekaligus siap melawan beragam serangan. Kami bawa bambu setangan, terutama adalah peringatan bagi mereka yang membenarkan dan dibenarkan untuk rendahkan perempuan. Kami angkat bambu karena mau dan mampu untuk terus maju.
7. Stop perkosaan! Hentikan segala kekerasan pada perempuan. Jika tidak, bersama bambu setangan kami akan melawan.
8. KamiBarisan Maju Buruh Perempuan atau BAMBU Perempuan, menyerukan dan mengajaksetiap perempuan dan buruh, untuk bangkit dari korban menjadi pejuang. Kitayakin, rakyat pasti menang.

Jakarta, 21 April 2013

BAMBU PEREMPUAN
BISA BERTAHAN, SIAP MELAWAN

Radio Komunitas Marsinah: Dari dan Untuk Buruh Perempuan

21 Februari 13 | 06:51

“Kami mau bekerja, tapi kami tidak mau ditindas,”

Thin Kusna, buruh dari PT Makalot, perusahaan garmen dari Taiwan, tak pernah bermimpi bahwa dirinya akan menjadi seorang penyiar radio. Keberadaan Radio Komunitas Buruh Perempuan Marsinah telah memberikannya kesempatan untuk menyuarakan beragam pelanggaran hak buruh yang terjadi di perusahaannya. “Saya berterimakasih kepada Radio Marsinah karena bisa menyuarakan pelanggaran yang terjadi. Ruang gerak kami di perusahaan dipersempit, sehingga tak bisa menuntut hak-hak kami.” lanjut Thin Kusna. Di Radio Komunitas Marsinah , ia mengasuh rubrik “Hak dan Hukum.” Meski awalnya tidak terlalu mendalami materi tersebut, namun bimbingan teman-teman dari organisasi Perempuan Mahardika dan Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) semakin memperkuat dirinya.

Keberadaan Radio Komunitas Buruh Perempuan MARSINAH  ditujukan untuk menyuarakan hak-hak buruh perempuan di  Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung  dimana ada 100 pabrik dan 90.000 buruh yang 90% adalah perempuan. “Nama Marsinah diambil untuk mengingatkan jasa beliau yang telah mempertaruhkan nyawanya dalam memperjuangkan nasib buruh perempuan,” ungkap Dian Septi Trinanti, Ketua Radio Marsinah.  Radio ini juga berawal dari kebutuhan  atas saluran informasi dan komunikasi yang bisa menjadi sarana pendidikan bagi kaum buruh untuk mengenali hak-haknya serta hukumnya. Baca lebih lanjut

PEREMPUAN PELITA 18; Malala: Gadis Remaja YangDitakuti Taliban, Karena Berjuang untuk Hak Pendidikan Anak Perempuan

Siang itu, Selasa, 9 Oktober 2012; di sebuah kota kecil Lembah Swat, di Pakistan, Malala, gadis remaja Pakistan,  berusia 14 tahun pulang sekolah bersama teman-temannya dengan bus sekolah. Namun, hari itu bukanlah hari biasa bagi Malala. Rombongan pasukan Taliban menghentikan bus sekolah tersebut dan dengan senjata api menanyakan seorang gadis bernama Malala. Tentu saja, dengan mudah pasukan taliban ini bisa menemukan Malala. Tanpa banyak kata, seorang taliban menembak Malala tepat di kepala dan lehernya dari jarak dekat. Tidak hanya Malala yang ditembak, kedua temannya yang duduk di sebelah Malala juga ditembak. Suara jeritan ketakutan riuh memenuhi seluruh bus sekolah tersebut, sementara kelompok Taliban segera lari meninggalkan jejak kengerian. Sang guru sekolah yang ada di bus sekolah itu segera meminta sopir bus untuk melarikan busnya ke Rumah Sakit terdekat. Malala, gadis kecil itu bertarung dengan maut diiringi doa dari seluruh rakyat Pakistan dan dunia.

 

Berita tersebut menghebohkan seluruh penjuru dunia. Sesaat setelah penembakan, juru bicara Taliban di Pakistan memberi ancaman bahwa apabila Malala selamat dalam penembakan kali ini maka sampai kapan pun nyawanya akan terus diincar. Kini, setelah dirinya dilarikan ke London untuk proses penyembuhan, Malala sudah siuman dan sudah bisa berdiri maupun menulis.

 

Siapakah Malala?  Mengapa Taliban begitu takut dengan gadis kecil ini sehingga harus dibunuh? Kisahnya akan kita simak dalam Perempuan Pelita edisi 18 yang setia menemani anda setiap kamis jam 7 malam sampai jam 9 malam di radio buruh perempuan: Marsinah FM. Kali ini bersama saya, Diaz kita ikuti kisah Malala setelah satu tembang berikut ini

 

Penembakan Taliban terhadap Malala, membawa duka hampir sebagian besar umat manusia di dunia. Di Pakistan, seluruh siswa sekolah menggelar doa bersama mengiringi perawatan Malala. Bahkan, Presiden Pakistan, Zardari, menyatakan akan membiayai semua pengobatan Malala hingga gadis kecil ini pulih. Dukungan dari berbagai pihak mulai mengalir bagi Malala beserta keluarga. Doa, dan dukungan yang terus mengalir tidak sia-sia. Kondisi Malala memang membaik setelah  peluru diangkat dari kepalanya dan mendapat perawatan lanjutan di London yang dikenal memiliki perlengkapan yang paling lengkap untuk perawatan anak dengan penyakit berat.

 

Menghadapi ancaman Taliban yang akan terus meneror Malala dan keluarga, keluarga Malala menyatakan tetap akan tinggal di Pakistan. “Bertahan atau tidak putri saya, kita tidak akan meninggalkan negeri ini. Kami memiliki ideologi dan kami adalah orang-orang yang mencintai tanah air,” kata ayah Malala, Ziauddin, seorang guru dan seorang penyair.

Malala, gadis berusia 14 tahun ini bernama lengkap Malala Yousafzai. Nama Malala diambil dari nama seorang pendekar perempuan dan penyair bernama Malalai dari Mawaian. Sementara nama Yousufzai berasal dari nama sebuah konfederasi suku Pashtun yang ada di kota kecil Swat Valley, tempat ia dibesarkan. Di rumahnya di Mingora, dimana tinggal bersama dengan dua adik lelakinya, orang tuanya, dan dua ayam peliharaannya.

Kepribadian Yousafzai mendapatkan banyak pengaruh dari ayahnya, Ziauddin Yousafzai yang seorang penyair, kepala sekolah dan seorang aktivis pendidikan. Ia dikenal mengelola sekolah yang bernama Sekolah Umum Khushal. Suatu kali, Malala pernah berstatemen dalam suatu wawancara bahwa ia ingin menjadi seorang dokter,messki sesudahnya ayahnya mendorongnya menjadi seorang politisi. Hal ini juga mengindikasikan bahwa ia mungkin ingin juga menjadi pilot. Ziauddin memperlakukan mereka sebagai sosok yang sangat spesial, mengijinkannya keluar di malam hari dan berbicara tentang politik bahkan setelah kedua saudara lelakinya sudah berangkat tidur.

Yousafzai secara terang benderang mulai berbicara tentang hak pendidikan di awal September 2008. Ayahnya membawanya ke Peshawar untuk berbicara di klub pers lokal. Dalam pers lokal tersebut, Malala berujar  “Berani sekali Taliban mengambil hak pendidikanku?” Pernyataan tersebut ditayangkan dan diliput di hampir semua koran dan televisi, di seluruh daerah.  Saat itu Malala masih berusia 11 tahun.

 

Mengagumkan ya sosok Malala ini, di usianya yang masih sangat muda sudah berbicara tentang haknya sebagai perempuan untuk mendapatkan hak pendidikan. Sementara anak-anak sebayanya masih asik bermain, Malala sudah bersiap bertarung dengan Taliban yang gencar mengungkung hak perempuan.

Perjuangan Malala dimulai lewat aktivitas menulis untuk BBC Urdu. Kala itu, sang ayah, Ziauddin, diminta oleh temannya Abdul Hai Kakkar, seorang reporter BBC dari Pakistan, supaya mencarikan seorang perempuan yang mau menuliskan tentang kehidupan di bawah kekuasaan Taliban. Di masa itu, gerakan militan Taliban yang dipimpin oleh Maulana Fazlullah mengambil alih kekuasaan di Swat Valley, mematikan televisi, musik dan kesempatan pendidikan bagi perempuan, melarang perempuan pergi berbelanja. Jenazah kepala polisi digantung di pusat kota. Awalnya, seorang gadis bernama Aisha murid ayahnya setuju untuk menulis sebuah diary, namun kemudian orang tua gadis tersebut melarangnya karena takut dengan ancaman Taliban. Satu-satunya peluang hanyalah Malala, anaknya sendiri yang empat tahun lebih muda dari Aisha dan masih duduk di kelas tujuh. Namun Editor BBC menyetujuinya. Belum jelas hingga sekarang apakah ayahnya yang menganjurkan Malala untuk menulis, atau Malala sendiri yang mengajukan dirinya sendiri.

Untuk melindungi keselamatan Malala, editor BBC memakaikan nama pena bagi Malala, yakni Gul Makai (bahasa Urdu yang artinya bunga jagung), sebuah nama yang diambil dari tokoh karakter dalam cerita rakyat Pashtun.

“Aku bermimpi buruk kemarin, dengan helikopter militer dan Taliban. Aku sudah pernah bermimpi semacam itu sejak dimulainya operasi militer di Swat. Ibuku membuatkanku sarapan dan aku pergi ke sekolah. Aku takut pergi ke sekolah karena Taliban melarang seluruh anak perempuan untuk berangkat sekolah.

Hanya 11 murid yang menghadiri kelas dari 27 murid. Jumlah murid berkurang karena ancaman Taliban. Tiga teman sekolahku telah pindah ke Peshawar, Lahore dan Rawalpindi bersama keluarganya karena takut dengan ancaman Taliban.

Dalam perjalananku dari sekolah ke rumah, aku dengar seorang lelaki berkata “Aku akan membunuhmu”. Aku segera berjalan dengan cepat, jika lelaki itu masih berjalan di belakangku. Tapi kemudian aku merasa lega, setelah kutahu ternyata ia sedang berbicara di hapenya dan sedang mengancam seseorang lewat hapenya itu”

Kalimat di atas ditulis oleh Malala di blog BBC Urdu pada tgl 3 Januari 2009 yang kemudian membuatnya terkenal. Malala menulisnya dengan tulisan tangan dan kemudian memberikannya pada seorang reporter yang akan men-scan tulisannya lalu mengomelkannya pada BBC. Blog tersebut mampu menangkap problem psikis Malala ketika perang Swat, menjadi awal dilakukannya operasi militer yang kemudian mengakibatkan makin sedikit gadis yang bersekolah, dan akhirnya sekolahnya pun ditutup.

Di Mingora, Taliban telah membuat para gadis takut bersekolah setelah 15 Januari 2009. Mereka telah melarang lebih dari seratus gadis untuk bersekolah. Pelarangan tersebut berlangsung beberapa hari, dan sekolah tempat Malala mengenyam pendidikan telah menginstruksikan murid-murid perempuannya supaya tidak lagi mengenakan seragam sekolah tapi pakaian polos supaya tidak menarik perhatian. Meski demikian, Malala justru memilih pakaian favoritnya, yaitu pakaian berwarna pink. Semua gadis di sekolah juga memakai baju warna-warni dan sekolahnya juga berpenampilan sederhana.

Suatu malam, terjadi baku tembak antara Taliban dan pihak pemerintah yang membuat Malala terbangun beberapa kali sehingga esok paginya Malala terlambat bangun pagi. Namun kemudian teman-teman Malala datang dan mendiskusikan pekerjaan rumah seolah-olah tidak terjadi apa – apa. Waktu itu, untuk pertama kalinya, Malala membaca kutipan dari blognya yang telah dipublikasikan di sebuah koran lokal. Ayahnya, Zaiauddin, bercerita bahwa seseorang datang padanya dengan koran itu dan berkata betapa indahnya tulisan tersebut, tapi sang ayah hanya bisa menyatakan pujian atas tulisan itu tanpa bercerita siapa sesungguhnya penulis blog tersebut, yang adalah anak gadisnya sendiri.

 

Penghancuran gedung-gedung sekolah dan pelarangan terhadap anak-anak gadis untuk sekolah semakin gencar dilakukan oleh Taliban. Namun, Malala tidak gentar, ia terus menceritakan kisah tersebut di blog BBC dan menyerukan pentingnya pendidikan bagi anak peremuan. Di usianya yang masih sangat belia, Malala mengajarkan keberanian. Kisah tersebut akan kita lanjutkan seusai selingan berikut ini.

 

Setelah pelarangan sekolah oleh Taliban, Taliban melanjutkan aksinya dengan menghancurkan gedung-gedung sekolah di wilayah tersebut. Pada 19 Januari, Malala menulis “lima sekolah lagi telah dihancurkan, satu dari sekolah tersebut terletak dekat sekolahku. Aku sangat terkejut, karena sekolah itu sangat dekat, kenapa dihancurkan?” Namun Malala tidak berhenti berpikir untuk pendidikannya. Lima hari berikutnya, dalam blognya, ia menulis tentang bagaimana ia belajar untuk ujiannya “Biasanya ujian kami dilakukan setelah liburan tapi ini hanya mungkin jika Taliban mengijinkan anak-anak gadis bersekolah. Kami diberitahu untuk mempersiapkan beberapa bab untuk ujian itu tapi aku tidak merasa sedang belajar”. Ia juga mengkritik operasi militer Pakistan yang berlangsung cukup lama. “

Untuk meluaskan simpati publik, militer Pakistan telah melempar permen dari helikopter, tapi itu tidak berlangsung lama. “kapanpun kami mendengar suara helikopter, kami menunggu permen dilempar dari helikopter tapi ternyata itu tidak pernah terjadi lagi”. Dua hari kemudian, Malala melakukan perjalanan ke Islamabad bersama orang tuanya, dan Malala tidak segan melakukan perbandingan: “Ini adalah kunjungan pertamaku ke kota ini. Kota ini sangat indah dengan jalan yang luas dan bung low yang indah juga. Tapi bila dibandingkan dengan kotaku, Kotaku, Swat Valley lebih memiliki keindahan yang alami”. Setelah dari Islamabad, keluarga kami melakukan perjalanan ke Peshawar, dimana mereka tinggal bersama keluarga mereka. Malala menulis tentang adik lelakinya yang berusia lima tahun yang sedang bermain di lapangan rumput. Ketika ayahnya bertanya pada adik lelakinya apa yang sedang ia kerjakan, adiknya menjawab sedang membuat kuburan. Ya, perang telah memberi dampak buruk bagi adiknya. Dalam perjalanan ke Bannu, bus mereka menabrak  lubang di jalan, dan membangunkan adiknya tersebut yang kemudian bertanya pada ibumu “Apakah ada bom yang meledak?” Di Bannu, dimana perempuan biasanya mengenakan kerudung panjang, Malala justru menolak memakainya karena ia merasa kesulitan berjalan dengan kerudung panjang tersebut.

Pada bulan Februari 2009, Malala kembali ke Swat, tapi sekolah untuk perempuan masih ditutup. Sebagai bentuk solidaritas, sekolah swasta untuk lelaki juga tidak buka hingga 9 Februari. Pada 7 Februari, Malala dan adik lelakinya kembali ke kampung halamannya di Mingora, namun jalanan begitu sepi, dan “ketakutan yang sunyi”. “Kami pergi ke supermarket untuk membeli sebuah hadiah untuk ibu kami tapi supermarket sudah tutup. Banyak toko lain juga tutup” Demikian yang dituliskan Malala dalam blognya. Rumahnya pun dibobol dan televisi mereka dicuri.

Bagaimana kisah Malala selanjutnya dalam upayanya untuk bersekolah lagi? Bisakah Malala dan teman-teman perempuannya kembali bersekolah? Perjuangan Malala akan kita simak setelah yang satu ini, persembahan dari Marsinah FM, dari buruh perempuan untuk kesejahteraan dan kesetaraan.

Taliban mencabut larangan pada anak perempuan untuk mengenyam pendidikan dasar, dengan disediakannya co-pendidikan . Sekolah untuk anak perempuan masih tutup. Malala menulis bahwa hanya 70 murid yang tersisa dari 700 murid. Pada 9 Februari 2009, pengasuh Malala menyebutkan bahwa situasi di Swat menjadi “sangat sulit” dan suaminya mengatakan padanya untuk kembali ke Attock.

Beberapa aktivitas hariannya pun mulai kembali normal. Malal menulis tentang kehidupannya di rumah. Pada 12 Februari 2009, ia menyebutkan bahwa guru agamanya datang di sore hari. Sementara di siang hari, ia kerap kali bermain dengan saudara lelakinya, ia juga gemar bermain games komputer. Ini diketahui dari laptop yang dimilikinya. Sebelum Taliban menginvasi wilayahnya, dan memblokir jaringan kabel, ia biasanya menonton televisi Star Plus dan drama favoritnya berjudul “lelaki impianku akan datang untuk menikahiku”

Pada 15 Februari 2009, suara senapan bisa terdengar dari jalanan Mingora, tapi ayah Malal selalu menenangkan anak-anaknya supaya tidak takut. “Itu adalah tembakan untuk perdamaian” kata sang ayah. Ayahnya telah membaca di koran bahwa pemerintah dan kaum militan taliban telah menandatangani perjanjian perdamaian esok harinya. Malam itu, setelah Taliban mengumumkan perjanjian perdamaian dengan pemerintah di radio, suara tembakan yang jauh lebih keras. “Rakyat Pakistan lebih percaya pada kaum militan Taliban daripada pemerintah”. Saat Malala dan keluarganya mendengarkan pengumumman itu, orang tua Malala menangis. Demikian pula dengan kedua adik lelakinya.

Hanya tiga hari setelahnya, harapan mereka diuji. Seorang reporter Pakistan, Musa Khankhel, dibunuh setelah melakukan aksi damai yang dipimpin oleh Sufi Muhammad, ayah mertua dari pemimpin lokal Taliban, Maulana Fazlulla. Pada hari yang sama, 18 Februari 2009, Malala kemudian diwawancarai dalam acara Capital Talks, sebuah program berita terkenal di Pakistan. Ia kemudian kembali diwawancara di program yang sama 6 bulan kemudian.

Pada 21 Februari 2009, Malala mendapatkan apa yang diharapkannya. Fazlulla mengumumkan di radio bahwa ia telah mengijinkan pendidikan bagi perempuan dan anak-anak perempuan diijinkan menghadiri sekolah hingga ujuan diadakan pada 17 Maret, tapi mereka harus mengenakan burka.

Beberapa hari kemudian, tepatnya tgl 25 Februari, Malala menuliskan di blognya bahwa teman sekelasnya sudah bisa bermain dengan gembira seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada lagi helikopter berterbangan di langit, juga tidak ada pembicaraan lagi tentang tentara dan taliban. Meski demikian masih beredar kabar bahwa perempuan tetap harus mengenakan burka dan bila ia terjatuh akibat sulitnya berjalan dengan mengenakan burka, seorang perempuan wajib menolak ketika seorang lelaki hendak membantunya.

Suatu hari, jumlah murid di kelas Malala menurun dari 27 menjadi 19 murid saja, tetapi Taliban masih aktif di wilayah tersebut. Baru dua hari setelah perjanjian damai antara Tentara Pakistan dan Taliban, baku tembak kembali terjadi. Namun, blog Malala kemudian berakhir pada 12 Maret 2009. Bulan berikutnya, yakni pada bulan April, Presiden Pakistan Asif Ali Zardari menandatangani peraturan hukum yang controversial tentang hukum syariah di wilayah Swat. Kebijakan tersebut didukung oleh Sufi Muhammad salah satu pimpinan Taliban di Swat, yang menyatakan bahwa perempuan tidak akan boleh sekolah dan bekerja atau bahkan ke pasar sekalipun. Namun, pertikaian terjadi antara tentara dan Taliban, dan di Bulan Mei pemerintah kembali menerapkan operasi militer di wilayah Swat.

Bagaimana kelanjutan perjuangan Malala setelah blog diari di BBC yang ia tulis itu berakhir? Kisah perjuangan Malala yang tanpa kenal menyerah akan kita saksikan setelah selingan yang satu ini. Masih bersama Dias di Perempuan Pelita tiap hari kamis jam 7 hingga 8 malam di radio buruh perempuan Marsinah fm.

Setelah diari BBC berakhir, Malala dan ayahnya didekati oleh reporter New York Times (sebuah Koran terkenal di Amerika Serikat) untuk membuat film documenter. Namun di bulan Mei itu juga Malala dan keluarganya terpaksa diecakuasi dan tinggal terpisah karena kembali ada perperangan antara tentara pemerinah Pakistan dan Taliban. Ayahnya, Ziauddin pergi ke Peshawar untuk melakukan protes dan meminta dukungan agar Malala tidak dipisahkan dari keluarga. Dalam film dokumenter yang dibuat oleh New York Times, Malala menyampaikan “Aku sangat bosan tinggal di tempat evakuasi karena tidak ada buku yang bisa aku baca”

Pada bulan itu juga, setelah mengkritik pihak Taliban dalam sebuah konferensi pers, ayah Malala menerima ancaman kematian melalui radio dari komandan Taliban. Terobsesi pada impiannya untuk mewujudkan perdamaian dan kebebasan di wilayah Swat hingga lupa hari ulang tahun Malala. Hal itu membuat Malala marah dan menuntut sang ayah untuk membelikan es krim pada setiap orang yang ada di sekitarnya. Tapi, terlepas dari itu semua, ayahnya memberi inspirasi besar bagi Malala untuk menjadi seorang aktivis politik dan bukan dokter seperti yang ia inginkan sebelumnya. “Aku mempunyai mimpi baru. Aku harus menjadi seorang aktivis politik untuk menyelamatkan negeri ini. Aku harus menyingkirkan krisis ini dari negeriku”

Hingga awal Juli 2009, kem penampungan sudah mulai penuh dan komandan Taliban masih juga belum tertangkap. Ia masih hidup menebar ancaman. Perdana Menteri Pakistan pun membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengumumkan bahwa Swat sudah aman. Militer Pakistan sudah berhasil mendesak pasukan Taliban hingga ke pedesaan. Namun setelah tiga bulan kemudian keluarga Malala kembali bersatu dan pada 24 Juli 2009 mereka sudah tinggal satu rumah. Bahkan, mereka sekeluarga bisa bertemu dengan Duta besar Amerika Serikat unutk Afganistan dan Pakistan. Kepada duta besar tersebut, Malala berkata “Bila anda bisa membantu kami mendapatkan pendidikan, silahkan bantulah kami”

Setelah film documenter tersebut, Malala kemudian diwawancarai di televisi Urdu dan televisi Kanada. Pada bulan Agustus 2009, Malala semakin tertarik untuk menjadi seorang politisi setelah terinspirasi oleh Benazir Bhutto. Suatu hari di awal bulan Desember 2009, identitas Malala sebagai penulis blog diari di BBC ia buka dalam sebuah artikel. Namun pengakuan Malala tersebut bukan hanya berasal dari tindakannya sendiri tapi juga berkat dorongan sang ayah. Sejak itulah, kehidupan keluarga Malala selalu berada di bawah terror Taliban. Hanya saja, Malala dan keluarganya tidak pernah menyerah dan berhenti menyuarakan posisinya bahwa Taliban harus menyingkir dari Swat. Semua itu agar semua anak perempuan bisa kembali bersekolah dan perdamaian hadir kembali di Swat. “Tujuanku adalah untuk kemanusiaan”

Pada akhir 2009, karir politik Malala dimulai. Sebuah video pada 22 Desember 2009 menunjukkan bagaimana Malala memasuki ruangan dewan yang penuh dengan anak-anak yang bertepuk tangan menyambutnya. Ia duduk di sebuah kursi dan di belakangnya terbentang spanduk bertuliskan “Dewan Anak Distrik Lembah Swat”. Sebuah video UNICEF menjelaskan, dewan anak tersebut dibangun untuk memberi kesempatan bagi kaum muda untuk menyuarakan kepedulian mereka tentang hak anak dan untuk memberikan solusi atas isu tersebut. Malala menduduki posisi dalam dewan anak tersebut hingga November 2011. Aktivitas politik Malala terus berlanjut, ia mulai berpartisipasi dalam proyek Institut untuk Perang dan Perdamaian, yang memberikan pelatihan jurnalistik dan diskusi kepada 42 sekolah di Pakistan. Apa yang dikerjakan Malala menginspirasi banyak kaum muda, dan mayoritas diantaranya adalah perempuan. Tidak hanya itu, Malala kemudian membentuk Yayasan Pendidikan Malala, yang membantu anak perempuan miskin supaya bisa bersekolah.

Pada bulan Oktober 2011, Desmond Tutu mengumumkan Malala sebagai nominasi Penghargaan Kedamaian Anak-anak Internasional dan menjadi selebriti di Pakistan. Profil Malala semakin melonjak saat ia mendapat penghargaan “Penghargaan Pemuda Nasional untuk Perdamaian” pada bulan Desember 2011. Hanya saja, semakin terkenal Malala, semakin tinggi bahaya yang mengancam nyawanya. Kelompok Taliban seringkali menyerang siapapun yang berani melawan Taliban. Ancaman pembunuhan biasanya mereka umumkan di Koran atau melalui surat kaleng. Di Facebooknya, Malala sering menerima ancaman dan banyak sekali yang memalsukan akun Facebook dengan menggunakan namanya. Akibatnya Malala menonaktifkan Facebook pribadinya dan menggunakan layanan keamanan digital. Namun ia terus menyatakan bahwa dirinya tidak akan berhenti bekerja untuk pendidikan bagi anak perempuan. “Aku sudah sering memikirkannya dan membayangkan apa yang bakal terjadi. Bahkan, jika mereka mau membunuhku, aku akan mengatakan pada mereka bahwa yang mereka lakukan sekarang adalah salah, pendidikan adahal hak dasar untuk kami”

Benar saja, pimpinan Taliban bersepakat untuk membunuhnya. Seperti yang kita ketahui Malala ditembak tepat di kepala dan lehernya dari jarak dekat ketika pulang sekolah bersama teman-temannya. Kini, Malala sudah selamat dari maut setelah dibawa ke Rumah Sakit London. Meski diperkirakan otaknya mengalami infeksi dan belum diketahui sejauh mana dampak dari infeksi tersebut bagi masa depannya.

Di tengah perjuangan Malala untuk pulih kembali, dukungan publik untuk Malala terus meluas. Semua berharap agar Malala bisa kembali sehat dan berjuang untuk hak anak perempuan atas pendidikan. Bagaimanakan dukungan publik untuk Malala? Kita akan dengarkan setelah tembang manis yang satu ini.

Upaya pembunuhan Malala membawa simpati dari seluruh penjuru dunia untuk Malala dan meluaskan amarah terhadap Taliban. Aksi demonstrasi memprotes penembakan terhadap Malala terjadi di beberapa kota di Pakistan. Pemerintah Pakistan menawarkan uang sebesar 105 ribu dolar bagi siapapun yang bisa memberikan informasi tentang pelaku penembakan Malala.

Para pemimpin dunia bahkan mengeluarkan pernyataan keras atas penembakan Malala. Presiden Barack Obama menyebut penembakan tersebut sebagai tindakan yang tercela, menjijikkan dan tragis. Sementara, Sekretaris Negara Hillary Clinton menyatakan bahwa Malala adalah gadis yang sangat berani mempertahankan hak anak perempuan. Ban ki Moon, sekjen PBB menyebut tindakan Taliban sebagai tindakan yang mengerikan dan tidak berperikemanusiaan. Presiden Pakistan juga menyebut penembakan tersebut sebagai tindakan yang tidak beradab. Bahkan seorang Angelina Jollie, artis Hollywood menulis kolom khusus untuk Malala di BBC. “Apa pentingnya bagi kelompok Taliban membunuh seorang anak kecil seperti Malala?” ucap Angelina Jolli dalam artikelnya. Dan bersama dengan Tina Brown, Angelina Jollie menggalang dana solidaritas untuk kesembuhan Malala.

Teman sekolah Malala, pun memberi pernyataan keras terhadap Taliban, bahwa perjuangan Malala adalah perjuangan seluruh anak perempuan di Pakistan “Setiap anak perempuan di Lembah Swat adalah Malala.Kami akan mendidik diri kami sendiri. Kami akan menang. Mereka tidak akan pernah bisa mengalahkan kami”

Penyanyi terkenal, Madona pun tidak ketinggalan, ia mendedikasikan sebuah lagu untuk Malala, berjudul “Human Nature” di sebuah konser di Los Angeles. Madona berujar, kejadian yang menimpa Malala membuatnya menangis ”Bagaimana mungkin seorang anak sekolahan berusian 14 tahun yang menulis tentang keinginannya bersekolah ditembak begitu saja oleh Taliban. Tak bisa dibayangkan betapa tidak masuk akalnya hal ini”

Perjuangan Malala akan terus berlanjut, dan seluruh dunia pun hendak melakukan aksi solidaritas bagi Malala pada 10 November 2012 mendatang. Keselamatan Malala, semangat Malala adalah semangat bagi umat manusia di dunia. Hak memang harus diperjuangkan dan bila kita mau menang maka hanya ada satu kata, Jangan pernah menyerah.

Ya itu tadi kisah Malala, semoga ia lekasi sembuh dan bisa beraktivitas seperti dulu kala. Buat para pendengar yang mau bersolidaritas untuk Malala silahkan ikut hadir dalam aksi solidaritas untuk Malala pada 10 November 2012 mendatang. Aksi solidaritas ini adalah aksi solidaritas internasional untuk Malala yang diserukan oleh PBB. Sampai di sini dulu perjumpaan kita dalam Perempuan Pelita, sebuah rubrik yang memberikan pelita bagi kita semua sebagai inspirasi untuk tetap melangkah ke depan menggapai impi dan cita kita. Terimakasih, salam setara, sampai jumpa minggu depan.

naskah ini disadur dari wikipedia

 

 

 

 

 

Crystal Lee Sutton alias Norma Rae : Pejuang Buruh Perempuan Tak Kenal Takut

Image

Selamat malam sahabat Marsinah, kembali hadir Perempuan Pelita, kisah perempuan di sekitar kita, hingga seluruh dunia yang menjadi pelita bagi perempuan dan menginspirasi. Perempuan Pelita hadir untuk sahabat Marsinah tiap Kamis jam 19 hingga jam 20 di Marsinah 106 FM, Radio Buruh Perempuan: Dari Perempuan Buruh untuk Kesejahteraan dan Kesetaraan. Kali ini kita akan bersua dengan salah seorang aktivis buruh perempuan yang berjuang hingga akhir hayatnya. Tentang dia akan kita dengarkan kisahnya setelah tembang yang satu ini, bersama saya Dias.

 

Hari itu, pada tanggal 11 September 2009, langit mendung menemani kesedihan dunia perburuhan. Ya pada hari itu, gerakan buruh dunia kehilangan sosok aktivis buruh perempuan yang gigih membela buruh. Semasa hidupnya, kisahnya sudah dituangkan dalam sebuah film Hollywood yang berhasil memenangkan beberapa penghargaan dunia seperti Aktris terbaik dan lagu terbaik dalam Academy Award (akademi eword), nominasi Gambar Terbaik, Penulisan Terbaik Academy Award, nominasi film terbaik dalam festival Film Cannes, aktris terbaik di festival film cannes. Film yang menuangkan kisah hidupnya dan memperoleh banyak penghargaan berjudul Norma Rae. Norma Rae sendiri bukan nama ia yang sesungguhnya. Di dunia nyata, masyarakat dunia mengenalnya dengan nama Crystal Lee Sutton. Film Norma Rae menurut Crystal adalah film yang cukup menggetarkan, membuatnya menangis dan tertawa. Tentu saja, kata Crystal, film itu menghabiskan dana miliaran dolar dalam pembuatannya. Namun yang paling penting, sebuah film bertema buruh yang mendidik berhasil dibuat. “Aku ingin sebuah film bertema buruh yang mendidik, bukan opera sabun bertema cinta seperti yang kalian lihat setiap hari di tv”

Image

Dialah Crystal Lee Sutton yang tutup usia pada usia 68 tahun karena kanker otak pada tahun 2009. Semasa hidupnya, ia aktif sebagai pengurus serikat buruh tekstil Amerika Serikat. Keberaniannya mengorganisir pemogokan di sebuah pabrik garment di Roanoke Rapids, N.C. tempat ia dibesarkan, merubah kondisi kerja di kota kecil tersebut. Tak hanya itu, keberanian Crystal telah merubah wajah kota kecil tempat ia tinggal. Untuk pertama kalinya, sebuah keadilan terbit di langit kota kecil itu. Maklum, selama turun menurun, masyarakat kota kecil di Amerika Serikat ini menggantungkan hidupnya sebagai buruh di pabrik garment itu. Sehingga tidak heran, penduduk kota ini sangat takut dengan perusahaan bernama J.P. Stevens Textile Plant tersebut. Sebuah ketakutan kehilangan pekerjaan yang selama ini memberi mereka hidup, meski hanya ala kadarnya dan tidak sesuai dengan keringat yang mereka keluarkan untuk memproduksi beragam jenis handuk. Upah mereka sebulan saja belum tentu sanggup membeli satu lembar handuk yang mereka produksi sendiri. Perusahaan J.P Stevan textile plant kini menjadi bagian dari perusahaan West Point Home Conglomerat.

Ya, sahabat Marsinah, masih bersama saya, Dias di Perempuan Pelita, sebuah rubrik yang mengangkat kisah perempuan yang menjadi pelita bagi kaumnya. Kita tadi sudah berkenalan dengan Crystal seorang buruh perempuan yang kemudian menjadi aktivis karena tergerak hatinya melawan kondisi kerja yang buruk. Tapi ternyata perjalanan membangun serikat tidak mudah. Banyak sekali rintangan dari rasa takut buruh, hingga ancaman PHK bagi diri sendiri. (jinggle dan iklan acara)

Crystal memulai aksinya mengorganisir pendirian sebuah serikat buruh di pabriknya, pada awal tahun 1970an. Ia sendiri merupakan ibu dari 3 anak. Pada awalnya, Crystal mulai bekerja di J.P Stevans di usia 16 tahun, dan bekerja dari jam 4 pagi sampai tengah malam. Ayah – ibu Crystal juga bekerja di perusahaan yang sama, demikian juga tetangga dan teman-temannya. Di usia 19 tahun ia melahirkan anak pertama. Kemudian menjadi janda di usia 20 tahun, suaminya tewas dalam sebuah kecelakaan mobil, dan meninggalkan anaknya yang masih berusia 4 bulan. Setelah suaminya meninggal, Crystal mencoba hanya menjadi ibu rumah tangga biasa, namun itu membuatnya bosan dan akhirnya kembali bekerja di J.P Stevens. Pada usia 21 tahun ia menikah lagi dan melahirkan anak ke dua. Baru pada tahun 1965 ia melahirkan lagi anaknya yang ke-3. Kepada anak-anaknya, Crystal selalu mengajarkan bahwa tak seorangpun lebih baik dari anaknya, demikian sebaliknya anak-anaknya juga tidak lebih baik dari orang lain. Bahwa manusia tidak boleh memandang rendah orang lain, hanya karena orang lain tidak tinggal di rumah mewah dan tidak mengenakan baju mewah.

Tentang hidupnya, Crystal berujar dari kecil ingin menjadi tentara, pergi dari kota kecilnya Roanoke Rapids, dan berkeliling dunia. Akan tetapi karena ia terlahir di keluarga dan masyarakat yang turun menurun bekerja untuk J.P Stevens maka ia tak luput dari tradisi itu, bekerja di J.P Stevens. Bahkan, dalam kurikulum sekolah di Roanoke Rapids, anak-anak diajarkan keterampilan memintal yang dibutuhkan di perusahaan J.P Stevens. Kurikulum resmi di sistem pendidikan Roanoke Rapids dari generasi ke generasi ini telah membentuk para anak menjadi tenaga kerja bagi J.P Stevens. Maka tak heran bila seluruh masyarakat di Roanoke Rapids bekerja di J.P Stevens.

Merintis pendirian serikat buruh di sebuah perusahaan yang sudah terbiasa nyaman menindas buruh tanpa ada protes, tentu hal yang sulit dan penuh resiko. Namun justru tindakan merintis sebuah perubahan inilah yang diperlukan bagi kehidupan yang lebih baik. Crystal tidak surut melangkah meski ia juga disibukkan sebagai ibu rumah tangga dengan 3 anak yang masih kecil. Crystal datang pertama kali dalam sebuah pertemuan serikat yang diadakan di gereja kulit hitam, dimana hanya ada dua orang kulit putih hadir dalam pertemuan itu. Pertemuan serikat itu adalah awal dimana Crystal mulai masuk dalam serikat buruh dan mengenakan pin yang bertuliskan “Apa yang sudah dikerjakan perusahaan untuk mu?”. Selanjutnya pertemuan demi pertemuan antar buruh diorganisir oleh Crystal di rumahnya, menembus ketakutan para buruh yang teramat besar. Bersama Eli Zickovich, aktivis TWUA (Serikat Buruh Garment Tekstile Amerika Serikat), Crystal mengorganisir buruh J.P Stevans. Tak semua buruh J.P Stevens bersimpati pada perjuangan Crystal. Tak jarang, Crystal dibenci oleh teman-temannya sendiri karena dianggap justru mengancam masa depan mereka. Bahkan sering kali Crystal disebut sebagai pelacur, perempuan tidak benar. Hal itu, karena buruh J. P Stevens sangat takut kehilangan pekerjaan, sehingga lebih memilih menyerang teman sendiri, dibanding perusahaan. “Ketika kau miskin dan merasa putus asa karenanya, pekerjaan yang buruk bahkan lebih baik dari pada tidak punya pekerjaan sama sekali”. Padahal kondisi kerja di J.P. Stevens Textile Plant amat buruk dengan jam kerja panjang dan upah rendah. Pada tahun 1973 saja, sebagai buruh perempuan beranak tiga, Crystal hanya diupah $2.65 per jam atau Rp 26.500  per jam (Di Amerika Serikat upah ini termasuk upah yang sangat rendah). Sebenarnya, sudah berulang kali ada upaya gerakan buruh untuk membangun serikat buruh di perusahaan tersebut namun selalu gagal. Pihak perusahaan sejak dari dulu merupakan perusahaan anti serikat dan selalu menjegal pembangunan serikat. Bahkan pendidikan di sekolah di Roanake Rapids selalu mengajarkan di sekolah pelajaran anti serikat buruh. Ya, dari kecil anak-anak di Roanake Rapids diajarkan untuk tidak berserikat. Di satu kesempatan Crystal pernah bercerita bagaimana para buruh tekstil sangat miskin sementara para pengusaha, dokter, pengacara begitu kaya. “Semasa hidupku, buruh tekstil selalu menunduk. Dokter dan pengacara dan manajer tidak ingin anak mereka bergaul dengan anak kami. Anak mereka selalu memiliki baju baru, selalu terpandai di sekolah. Mereka selalu menjadi Cheerleader atau penari suporter sekolah. Ya, mereka mayoritas berasal dari kelas atas”

Puncak perjuangan Crystal terjadi saat Crystal menyalin pengumuman perusahaan yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan Amerika Serikat, pada bulan Mei 1973. Pengumuman anti serikat tersebut ditulis ulang oleh Crystal, untuk digunakan menjadi bukti penting yang bisa dinyatakan kepada masyarakat luas bahwa perusahaan anti serikat dan bisa dihukum. Pengumuman perusahaan tersebut bukan hanya berisikan pernyataan anti serikat, tapi juga memuat rasisme karena terutama menyerang buruh kulit hitam. Pengumuman perusahaan itu sendiri adalah untuk menyikapi adanya kumpulan dan rapat-rapat buruh yang merencanakan pendirian serikat. Walaupun pendirian serikat buruh dilindungi oleh undang-undang Amerika Serikat, pengusaha bermaksud mengancam dan menyatakan menolak adanya serikat dalam perusahaan.

Menyalin atau menulis ulang pengumuman perusahaan tersebut, mengakibatkan Crystal di PHK. Tidak terima di PHK sepihak, Crystal tidak langsung keluar pabrik sebagaimana pada umumnya buruh yang di PHK. Dari kantor manajemen tempat dia dipanggil dan dinyatakan di PHK, Crystal malah berjalan masuk ke ruang kerja di mana semua buruh sedang bekerja. Diambilnya kertas agak besar, lalu dia tulisi dengan huruf besar: UNION, yang artinya serikat buruh. Lalu dengan keberanian luar biasa, Crystal naik ke atas meja, dan sambil berdiri menunjukkan kepada semua buruh, papan kertas yang telah ditulisi UNION itu. Walau ada rasa takut, Crystal tanpa ragu mengangkat tinggi-tinggi papan bertulis UNION, berputar dan ditunjukkan kepada semua buruh yang bekerja.

Para buruh JP Stevens, yang adalah keluarga, tetangga dan teman-teman Crystal, melihat kenekatan Crystal menjadi sangat terkejut. Mereka yang sebelumnya sudah mulai mengenal pentingnya serikat buruh, kemudian menjadi takut karena diancam perusahaan, seperti menyaksikan mukjizat penuh keberanian yang ditampilkan oleh Crystal. Crystal yang adalah buruh perempuan biasa, dan diketahui semua orang bahwa pasti membutuhkan uang untuk menghidupi 3 anak itu, telah menunjukkan sikap berani, penuh harga diri, serta menyerukan serikat buruh yang diyakini akan menjadi alat perjuangan bagi semua buruh, bukan hanya alat perjuangan bagi Crystal sendiri. Karena keberanian Crystal inilah, sebelum polisi datang, perlahan para buruh JP Stevens memberikan dukungan pada Crystal. Satu-persatu para buruh mulai berhenti kerja dan mematikan mesin. Crystal terus berputar di atas meja tempat dia berdiri, sambil mengangkat papan bertuliskan UNION. Makin lama, sebagian besar buruh mematikan mesin dan semua pandangan tertuju hanya pada Crystal dan papan bertuliskan UNION itu. Akhirnya pada hari itu buruh JP Stevens berhenti bekerja, mereka mogok untuk mendukung Crystal dan menuntut kebebasan untuk buruh berserikat. Perusahaan tidak lagi bisa menahan protes buruh. Sekalipun polisi didatangkan oleh perusahaan, tapi hanya bisa menangkap Crystal. Sementara keberanian dan tuntutan buruh JP Stevens, baik berkulit putih maupun hitam, sebagian besar telah kompak untuk perusahaan memenuhi tuntutan buruh. Hari itu juga, Crystal ditangkap kepolisian dan dipenjara dalam sel selama satu hari.

Crystal dianggap membuat keributan, mengganggu ketertiban umum sehingga ia ditangkap dan dipenjara. Memang hanya sehari karena salah satu temannya membayar uang tebusan. Lalu bagaimana perjuangan Crystal selanjutnya? Berhasilkah? Kita lanjutkan kisahnya nanti setelah satu lagu persembahan marsinah 106 FM berikut ini.

Image

Tidak ada perjuangan yang sia-sia, memang selalu benar adanya. Keberanian Crystal dan kekompakan teman-temannya, akhirnya berhasil memaksa perusahaan untuk mengakui berdirinya serikat buruh. Walau sebelumnya ada juga buruh yang dibayar perusahaan untuk melawan perjuangan pendirian serikat, bahkan ada juga preman yang disewa untuk menakut-nakuti. Tapi karena keberanian yang terus dibangun akhirnya sebagian besar buruh turut bersama Crystal, berjuang untuk mendirikan serikat. Sekalipun Crystal telah di-PHK dan tidak lagi bekerja di JP Stevens, keberanian dan kekompakan buruh JP Stevens tetap membuahkan hasil, dan berdirilah cabang serikat bernama ACWTU atau Gabungan Serikat Buruh Pakaian dan Tekstil di pabrik garmen JP Stevens. Dengan adanya serikat buruh, perjuangan belum usai, tapi baru dimulai. Baru setahun setelah PHK Crystal dan pemogokan, ACWTU di JP Stevens bisa memenangkan hak untuk mewakili pekerja pada tgl 28 Agustus 1974. Dan baru 6 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1980, serikat pekerja J.P Stevens dan perusahaan J.P Stevens menandatangani perjanjian bahwa upah buruh naik menjadi 5 dolar per jam atau 45 ribu per jam, adanya fasilitas keamanan kerja, dan jaminan kesehatan.

Tentu, semua buruh JP Stevens yang merasakan perbaikan sebagai buah perjuangan mereka, juga mengakui bahwa semua itu buah dari keberanian dan pengorbanan Crystal. Sementara Crystal sendiri tak ikut merasakan peningkatan kesejahteraan itu. Tanpa pernah merasa menyesal, dan malah selalu bangga dengan apa yang telah dilakukan, setelah di PHK dari JP Stevens kehidupan Crystal lebih buruk dari teman-temannya. Apabila dalam film Norma Rae diakhiri dengan akhir bahagia dimana serikat buruh yang ia dirikan akhirnya berhasil mewakili buruh dan mayoritas buruh mendukung serikat, namun di dunia nyata setelah dipecat dari J.P Stevans Textile, kehidupannya masih jua tak mulus. Setelah dipecat dari J.P Stevans, Crystal kembali mencari pekerjaan untuk menghidupi keluarganya.

Pekerjaan pertama yang ia peroleh adalah di sebuah restoran fried chicken yang ada di sebuah kota kecil. Menurutnya, itu adalah pekerjaan terburuk yang pernah ia dapatkan. Tentang pekerjaan di restoran fried chicken itu, Crystal berkisah “Para pekerja membawa ayam-ayam tersebut untuk didinginkan dan diproses. Kau harus masuk ke ruang pendingin dan mengatur suhu ruang pendingin tersebut menjadi sedingin mungkin, kamu harus memastikan temperaturnya sudah tepat, lalu kamu harus memeras lemak dari ayam yang sudah dingin. Setelahnya kau masih harus menaruhnya di sebuah baskom yang sangat besar, dan kamu kemudian harus memeras lemak keluar dari ayam itu dalam waktu yang tidak telalu lama. Setelahnya kamu masih harus menaruh ayam – ayam itu dalam tungku untuk diolah dan harus menungguinya semalaman. Setelahnya, kamu harus kembali ke freezer untuk mengambil lagi ayam-ayam berikutnya yang sudah dingin, serta memotongnya menjadi beberapa bagian. Selama bekerja kamu harus memakai sarung tangan agar bisa tahan terhadap dingin, sementara mata majikan terus mengawasi. Ya, kamu harus bekerja memasak ayam, mengolahnya sekaligus menggoreng ayam- ayam itu. Pekerjaan dimulai pada pagi  hari sehingga para buruh harus berangkat sangat pagi untuk absen, menaruh ayam- ayam yang sudah masak ke dalam kotaknya. Selain itu, kamu juga harus mengepel lantai di malam hari dan memastikan peralatan memasak sudah bersih tercuci.” Yah, pada kenyataannya, J.P Stevan adalah pekerjaan yang paling baik meski juga bergaji rendah. Bagi Crystal sendiri, kenyataan itu tidak membuat dirinya menyesali keberaniannya berlawan di JP Stevens. Dia menyatakan tentang kenyataan lebih buruk di luar JP Stevens sebagai kesimpulan bagi dirinya dan para buruh, bahwa sebenarnya tidak ada pekerjaan yang benar-benar layak bagi buruh. Semuanya buruk.

Bagaimana kisah Crystal selanjutnya? Perjuangannya belumlah selesai, rintangan terus saja menghadang. Perusahaan JP Stevens terus melawan buruh dan serikat buruh, bahkan setelah Crystal di PHK. Kisah selanjutnya akan kita dengarkan setelah satu buah lagu berikut ini. Masih di Marsinah 106 FM, bersama saya Dias di Perempuan Pelita Edisi, tayang setiap Kamis malam jam 7 hingga jam 8. 

Setelah itu, Crystal kemudian bekerja di ACTWU (Gabungan Serikat Buruh Pakaian dan Tekstil), serikat yang memenangkan perwakilan serikat pekerja di Roanake Rapids Plant pada 28 Agustus 1974. Selama 4 tahun terakhir ACTWU mengorganisir masyarakat untuk memboikot produk J.P Stevans dengan melakukan pemutaran film Norma Rae di berbagai tempat. Kampanye boikot ini dilakukan karena perusahaan J.P Stevens tidak juga memenuhi hak-hak pekerja. Perjuangan bagi pemenuhan hak buruh JP Stevens belum berakhir. Perusahaan dengan banyak keuntungan dan harta berlimpah selalu meremehkan dan berani menentang kewajiban terhadap pekerja. Masyarakat mulai menyoroti JP Stevens dan turut dalam aksi boikot tersebut. Solidaritas rakyat untuk pekerja JP Stevens terus mengalir, sebab pemerintah tak juga bertindak adil untuk membela hak buruh.

Sekalipun demikian, tidak mudah untuk membuat perusahaan yang merasa berkuasa dan dibela pemerintah itu untuk menyerah. Bahkan dalam desakan boikot yang dilakukan masyarakat, JP Steves dengan keras kepala mencoba menutupi kerugian akibat boikot, agar tidak dianggap kalah. Juru bicara perusahaan malah menyatakan sebaliknya, bahwa boikot itu gagal dan keuntungan perusahaan terus meningkat dibanding tahun sebelumnya. Tidak itu saja, perusahaan juga menyerang gerakan serikat buruh yang menentangnya, dengan menyatakan bahwa serikat buruh tersebut telah menghamburkan dana 5 miliar dolar setiap tahun untuk mengirimkan orang semacam Crystal Lee Sutton untuk menyerang J.P Stevans “Jika boikot tersebut berhasil justru akan merugikan 34 ribu buruh yang bekerja di J.P Stevans.”

Begitulah JP Stevens, seperti pada umumnya perusahaan yang keras kepala. Tujuan utama sebenarnya adalah menghentikan boikot terhadap produknya, tapi dengan cara menyatakan tidak terganggu oleh boikot dan mencoba memberitahu masyarakat luas untuk curiga dan menghentikan dukungan pada serikat yang melawannya. Pihak ACWTU sebagai serikat yang diserang perusahaan JP Stevens tentu memberi penjelasan sebenarnya pada masyarakat. Bahwa perusahaan JP Stevens sebenarnya bermasalah dan telah dipanggil Dewan Tenaga Kerja Nasional, atas laporan dari serikat. Sejak 1963 JP Stevens sudah diadukan 23 kali, dan dipanggil 22 kali. Ini menjelaskan memang perusahaan senyatanya buruk dan melanggar hak buruh.

Pihak serikat juga menyatakan bahwa boikot oleh masyarakat sebenarnya berhasil. Keuntungan perusahaan JP Stevens meningkat, karena serikat hanya bisa kampanye boikot untuk dua produk JP Stevens, yaitu sprei dan handuk. Keuntungan perusahaan adalah dari di luar produk tersebut, sementara untuk handuk dan sprei terbukti ada penurunan besar dalam penjualan. Tentang beaya yang dikeluarkan serikat, dijelaskan juga sebesar 5 juta dollar, untuk pembeayaan 3 tahun, dari 1977 hingga 1979. Salah satunya adalah membuat film tentang perjuangan Crystal di JP Stevens, dalam film berjudul NORMA RAE. Pertarungan antara serikat dan perusahaan JP Stevens terus berlanjut. Semakin lama perusahaan semakin terpaksa menanggapi karena makin besarnya pengaruh serikat itu sendiri, juga semakin meluasnya dukungan masyarakat. Situasi yang jelas berbeda dibanding masa sebelumnya, ketika belum ada serikat di JP Stevens, saat itu segala penindasan buruh dijalankan perusahaan tanpa hambatan sama sekali.

Film Norma Rae sendiri dibuat untuk tujuan meningkatkan kesadaran publik terkait pentingnya pembangunan serikat. “Kau tak punya waktu istirahat untuk makan siang mu. Kau makan saat bekerja, kau letakkan sandwich mu di atas kain saat kau bekerja setelah kau serahkan seluruh hidupmu untuk perusahaan… saat kau menjadi tua…mereka kemudian membuangmu begitu saja.” Demikian kutipan dari film Norma Rae. Film Norma Rae menjadi alat perjuangan yang ampuh untuk membangun gerakan buruh dan menginspirasi gerakan buruh. Namun, kehidupan nyata tentu saja tidak semulus dalam film. Crystal tetap harus bekerja keras sepanjang hidupnya, karena memang demikianlah sistem yang berlaku. Semua orang harus bekerja keras dan tidak akan pernah menjadi kaya, sementara segelintir orang bisa menjadi kaya hanya karena menjadi majikan.

Luar biasa perjuangan Crystal dan organisasinya, tak pernah menyerah untuk membela hak buruh. Sekalipun berhadapan dengan perusahaan kaya yang terus mencari cara agar buruh tidak bersatu, juga agak masyarakat tidak mau membela perjuangan buruh. Semakin besar serangan perusahaan, malah semakin membesarkan pula perlawanan. Kisah perjuangan perempuan buruh satu ini belum berakhir. Tetap di Perempuan Pelita Edisi 13 di Marsinah 106 FM, sesaat lagi akan kita lanjutkan.

Sebenarnya, Crystal pernah tinggal di sebuah rumah yang menurutnya cukup mewah setelah ia menikah dengan suaminya yang kedua, Lewis Sutton. Namun, Crystal justru tidak betah. Kehidupannya yang selalu sederhana dengan seluruh keluarga turun-menurun menjadi buruh di J.P Stevan seperti warga yang lainnya membuat ia canggung dengan kemewahan. Memang suaminya mendapat pekerjaan yang lumayan. Hal itu kata Crystal karena serikat buruh di tempat suaminya bekerja selalu membela hak buruh sehingga hak buruh bisa terpenuhi

Beberapa tahun kemudian, Crystal didiagnosa mengidap penyakit kanker saraf yang disebut dengan meningioma. Penyakit ini berbahaya dan bisa membawa pada kematian. Tapi Crystal menghadapinya dengan kuat, konsentrasi hidupnya tetap pada perjuangan. Pada tahun 2007, ketika diwawancarai tentang hidupnya setelah dinyatakan terkena kanker parah, Crystal malah memberi jawaban tentang perjuangan hidup. Crystal menyatakan: “Berdirilah untuk apa yang kamu percaya, tidak peduli betapa hidupmu bertambah sulit. Jangan menyerah dan selalu nyatakan apa yang kamu yakini”. Pernyataan Crystal ini jelas menggambarkan bahwa apapun tidak boleh menghentikan perjuangannya.

Di tengah sakit kanker yang diderita, Crystal kembali mendapat pengalaman ketika menghadapi bahwa sistem asuransi di Amerika Serikat ternyata brengsek. Rakyat yang ikut asuransi kesehatan dan diwajibkan membayar iuran, ketika menderita sakit akan menghadapi penolakan dari perusahaan asuransi untuk membeayai pengobatan. Sehingga kanker Crystal tidak bisa langsung disembuhkan, akibat belum disetujui perusahaan asuransi. Crystal terpaksa menjalani hidup dengan kanker selama dua bulan dengan pengobatan seadanya. Tentang hal ini, Crystal mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh pihak asuransi  adalah salah satu bentuk penindasan terhadap pekerja. “Bagaimana mungkin di dunia ini kita masih membutuhkan waktu yang lama untuk mencari obat ketika dihadapkan pada persoalan hidup dan mati” kata Crystal. Ia melanjutkan “Apa yang dilakukan oleh pihak asuransi sama halnya dengan melakukan pembunuhan”. Pada tahun 2008, Crystal memperoleh bantuan dana untuk pengobatan dari Cabang AFL – CIO di Carolina Utara. Crystal sendiri telah menjalani kemo terapi dan dua kali operasi.

Akhirnya setelah dua bulan berjuang menuntut klaim pengobatan atas dirinya, Crystal berhasil mendapatkan klaim asuransi. Namun sesaat setelah menjalani pengobatan, Crystal menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Jumat, 11 September di Burlington, N.C, hospice. Bahkan hingga akhir hayatnya pun, Crystal tak lelah berjuang untuk memperoleh haknya. Kematian Crystal menjelaskan bukan saja mati karena kanker yang dideritanya, namun akibat sistem dan perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi yang selalu mengatasnamakan penyelamatan hidup, senyatanya tidak berbeda dengan perusahaan pada umumnya, yaitu mencari untung sebesar-besarnya, tak peduli dengan cara mengorbankan masyarakat kebanyakan. Bahkan terhadap seorang Crystal yang begitu terkenal di Amerika Serikat karena perjuanggannya itu, perusahaan asuransi tak ragu menolak klaim untuk membeayai pengobatan. Tak terbayangkan bila yang sakit adalah masyarakat umum, pasti lebih mudah lagi bagi perusahaan asuransi untuk mengabaikannya. Itulah sebabnya, pada waktu akhir menjelang kematiannya, Crystal menyatakan perlunya jaminan kesehatan bagi pekerja dan masyarakat miskin. Sebagaimana dinyatakan oleh sahabat Crystal, Eli Zickovich. Kovich ingat terakhir kali ia berbicara dengan Crystal, “Itu sekitar 10 hari yang lalu di rumah sakit, dan dia berbicara tentang perlunya untuk menyediakan perawatan kesehatan bagi orang-orang yang membutuhkannya. Bagi yang miskin dan pekerja miskin”

Selama hidupnya, Crystal pernah berujar bahwa ia bangga telah berhasil menjadi dirinya sendiri. Dan diri Crystal akan selalu dikenang oleh orang lain sebagai pejuang buruh. Berjuang untuk buruh berorganisasi, dengan keyakinan bahwa melalui serikat akan lebih mungkin bagi buruh menghadapi berbagai masalah dan penindasan. Crystal mengatakan, “Meskipun tidak semua serikat berfungsi sebagaimana seharusnya, namun serikat buruh adalah cara terbaik bagi para buruh untuk mencapai keadilan dan meningkatkan martabat. Crystal meninggal dunia pada umur 68 tahun, meninggalkan seorang suami yang telah menikah 30 tahun, yaitu Lewis Preston Sutton Jr, juga meninggalkan dua putri, tiga putra, dua saudara perempuan, serta sembilan cucu dan enam cicit.

Image

Kisah hidup dan perjuangan Crystal Lee Sutton telah menyebar menjadi inspirasi para buruh, terutama buruh perempuan. Karena Crystal sebagaimana buruh lainnya yang berkeluarga dan memiliki anak, berhasil menjadi pendobrak bagi kekejaman perusahaan tekstil tempatnya bekerja. Crystal Bersama Preston suaminya banyak mengalami kesulitan, keluarga mereka juga adalah keluarga miskin dengan beragam kesulitan sebagaimana keluarga yang lain. Dan karena prinsip serta perjuangannya, keluarga ini sering mengalami kesulitan yang lebih besar. Namun, segala kesulitan tersebut tidak pernah mengubah pusat perhatian pada pasangan keluarga ini, untuk selalu membela yang miskin dan pekerja miskin. Kekaguman atas perjuangan Crystal telah membuat orang menuangkannya dalam menjadi film dan buku. Satu kalimat dalam buku tentang Crystal yang menggambarkan tentang Crystal dituliskan: “Dia adalah seorang buruh pabrik dan putri buruh pabrik. Tapi dia memiliki keberanian untuk melangkah keluar dari peran biasa untuk membela apa yang dia percaya. Pengucilan tidak bisa menakut-nakuti dirinya. Dia tegas menyatakan: Tidak akan ada yang berhenti cukup hanya di sini”

Sahabat Marsinah, itulah satu sosok perempuan hebat yang membawa pelita bagi kita pada malam ini. Crystal Lee Sutton, seorang buruh perempuan dari sektor garmen, sebagaimana kebanyakan buruh perempuan di KBN Cakung. Kisah awal perjuangan Crystal yang dijadikan film berjudul Norma Rae, juga tersedia di Studio Marsinah FM. Sahabat Marsinah yang ingin nonton atau memiliki film apik berjudul Norma Rae, silakan datang langsung ke Studio Marsinah FM.  Sungguh film bagus, Norma Rae bisa membuat kita terharu, tertawa, tertegun dan bangga menjadi buruh perempuan garmen yang berani.

Perempuan pembawa pelita siapa lagi yang akan kita kenal? Terus ikuti kisah-kisah perempuan hebat, hanya di PEREMPUAN PELITA setiap Hari Kamis jam 19 hingga jam 20, di Radio Buruh Perempuan, MARSINAH 106 FM, dari perempuan buruh untuk kesejahteraan dan kesetaraan.

Lagu penutup segera kita putarkan, dan saya (nama penyiar) undur diri, salam kesetaraan dan sampai jumpa kamis depan.

Rekaman Perempuan Pelita edisi 13 bisa didengarkan dengan klik link di bawah ini:

PEREMPUAN PELITA EDISI XII Perempuan – Perempuan Pejuang Kemerdekaan

Image

Salam setara, Perempuan Pelita hadir untuk sahabat Marsinah tiap Kamis jam 19.00 hingga 20.00. Malam ini adalah Perempuan Pelita Edisi ke 12, di Minggu ke 4 Agustus 2012. Sebelumnya, kami segenap kru marsinah 106 FM mengucapkan selamat Idul Fitri 1433 H, mohon maaf lahir dan batin. Juga kami sampaikan selamat hari kemerdekaan untuk seluruh rakyat Indonesia, Tahun Merdeka ke 67. Sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya dan untuk itulah Perempuan Pelita kali ini hadir menyajikan lima pejuang perempuan yang memiliki peran teramat besar bagi perjuangan kemerdekaan baik bagi perempuan maupun bangsanya. Siapakah mereka? (jingle marsina fm + iklan perempuan pelita) 

Bangsa Aceh, bangsa perbuatan, kalah ribuan kali, berjuang ribuan kali tak pernah berhenti melawan”  Demikian kutipan dalam novel Bumi Manusia, karya Pramudya Ananta Tur tentang Aceh yang sedari dulu tak pernah berhenti melawan penindasan, kala itu Belanda. Mengenal Aceh kita akan pula diperkenalkan dengan tokoh-tokoh pejuangnya, salah satunya adalah Cut Nyak Dien yang hingga akhir hayatnya tak pernah sudi tunduk pada penjajah Belanda.

Waktu itu, di tengah belantara hutan, Anaknya, Cut Gambang, meraung-raung meratapi kematian ayahandanya, Teuku Umar. Dengan dingin, Cut Nyak Dien menampar dan menggertak anak perempuannya

“Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid” ]

Ya, Teuku Umar, suami Cut Nyak Dien yang kedua telah meninggal di medan perang pada tahun 1899, melawan Belanda. Getir yang dirasakan Cut Nyak Dien ini bukan yang pertama. Kematian demi kematian kawan dan keluarga telah memenuhi hidupnya jauh sebelumnya. Perang melawan Belanda memang bukan hal baru bagi rakyat Aceh termasuk Cut Nyak Dien. Dendam Cut Nyak Dien cukup dalam, kematian suaminya yang terdahulu di medan perang, Ibrahim Lamnga pada tahun 1878 membuat Cut Nyak Dien berang dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. Dendam- dendam yang sama juga mengakar di benak rakyat Aceh, dendam terhadap penindasan.

Kala itu, ketika matari sedang terik, seorang pemuda Aceh mendatangi rumah Cut Nyak Dien untuk melamarnya. Penolakan langsung terlontar dari mulut Cut Nyak Dien, namun kemudian Perempuan Aceh ini berubah pikiran ketika Pemuda tersebut yang kemudian diketahui adalah Teuku Umar, memperbolehkannya serta dalam peperangan melawan Belanda.

Cut Nyak Dien sendiri terlahir di keluarga bangsawan di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukum yang juga keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Sementara Ibu Cut Nyak Dien merupakan putri uleebalang Lampagar, keturunan Minangkabau. Sebagai anak dari keluarga bangsawan, Cut Nyak Dien memperoleh pendidikan baik bidang agama maupun pekerjaan rumah tangga. Di usianya yang masih belia, yakni 12 tahun, Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga pada tahun 1862, putra uleebalang Lamnga XIII dan memiliki satu anak lelaki.

Pasca kematian Teuku Umar, Cut Nyak Dien, memimpin perlawanan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien beserta pasukannya tak pernah berhenti melawan Belanda hingga kekalahannya pada 1901. Hal ini dikarenakan tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan wilayah Aceh dan Cut Nyak Dien sudah semakin renta. Kerabunan matanya dan encok yang menyerangnya membuat kondisi fisik Cut Nyak Dien melemah. Apa lagi pasukannya mulai berkurang jumlahnya dan sulit mencari persediaan makanan.

Iba dengan kondisi kesehatan Cut Nyak Dien yang kian memburuk, anak buah Cut Nyak Dien bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu dan pasukan Cut Nyak Dien porak poranda. Cut Nyak Dien pun dibawa ke Banda Aceh, dirawat hingga sembuh dan diasingkan ke Sumedang. Pengasingan Cut Nyak Dien ke Sumedang, bukan tanpa alasan, pihak Belanda takut kehadirannya di tengah masyarakat Aceh akan menyulut semangat perlawanan rakyat Aceh. Sementara, anaknya,  Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.[1]

Dalam pengasingan di Sumedang, kesehatan Cut Nyak Dien terus menurun. Di usianya yang sudah menua, pada 6 November 1908, Cut Nyak Dien meninggal. Makamnya baru diketemukan pada tahun 1959  dan pada tahun 1964, ia diakui sebagai pahlawan nasional. Kisahnya tentu saja akan menjadi panutan bagi kaumnya, bahwa tiada boleh kita menyerah mana kala kita menuntut hak dan kemerdekaan kita sebagai manusia dan bangsa.

Cukup menggetarkan sosok Cut Nyak Dien ini ya, bila sahabat Marsinah sudah pernah menonton film tentang Cut Nyak Dien yang diperankan Christin Hakim tentu sahabat Marsinah akan terpukau juga oleh sosoknya yang tegas dan berani. Film ini konon merupakan film pertama di Indonesia yang serta dalam festival film Cannes. Kisah – kisah pejuang perempuan tidak berhenti di Cut Nyak Dien, setelah lagu yang satu ini kita akan bersua lagi dengan salah satu pejuang perempuan kita dari Indonesia bagian Timur. Masih di Perempuan Pelita, marsinah 106 FM. (lagu)

Perempuan satu ini memiliki pengalaman yang sama dengan Cut Nyak Dien dalam berjuang melawan Belanda, yakni berperang. Berperang melawan Belanda bukanlah hal baru bagi perempuan ini, ia adalah Christina Martha Tiahahu, seorang perempuan pejuang dari Maluku. Bukan hal baru bagi Martha untuk berperang karena ia sendiri adalah putri pemimpin dan pejuang rakyat Maluku bernama Kapitan Paulus Tiahahu. Ia terlahir d  Nusa Laut Maluku pada 4 Jauari 1800

Semangat perlawanan Marta Tiahahu juga tak lepas dari semakin luasnya perlawanan rakyat Saparua yang dipimpin oleh Kapitan Patimurra. Meski waktu itu, ia masih sangat belia, Marta Tiahahu ikut berperang bersama sang ayah, Kapitan Paulus Tiahahu. Bahkan Martha dan ayahandanya berhasil merebut benteng Beverwijk.

Belanda seakan tidak pernah kehabisan akal menghadapi perlawanan rakyat Nusantara. Untuk memadamkan perlawanan rakyat Nusa Laut, Belanda mengerahkan armada laut yang amat besar dengan persenjataan modern. Akibatnya, rakyat Nusa Laut yang dipimpin Marta Tiahahu dan sang ayah terpaksa menelan kekalahan dan Benteng Beverijk berhasil direbut kembali oleh Belanda pada 10 November 1817.

Dengan kekalahan tersebut, Martha dan ayahnya akhirnya ditangkap oleh Belanda. Paulus Tiahahu dijatuhi hukuman mati. Ia ditembak di hadapan rakyat Nusa Laut, sehingga rakyat akan semakin takut melawan. Sementara itu, Martha dibebaskan karena usianya yang masih sangat belia. Di depan matanya, sang ayah meregang nyawa ditembak mati oleh Belanda. Hal itu menanamkan dendam di benak gadis cilik itu. Karena itu setelah menghirup udara kebebasan, Martha kembali menyusun perlawanan terhadap Belanda. Namun, sekali lagi ia beserta 39 pejuang lainnya berhasil diringkus oleh Belanda dan kemudian dibuang di Pulau Jawa. Di dalam perjalanan menuju Pulau Jawa, di atas kapal, Martha jatuh sakit dan menolak meminum obat yang diberikan Belanda hingga akhirnya ia meninggal.  Sosok Christina Martha Tiahahu yang pantang menyerah dan berani menimbulkan simpati seorang perwira Angkatan Laut Belanda yang kemudian secara diam-diam menurunkan jenasahnya dari kapal. Di usianya yang masih belia, Martha telah mengajarkan pada kita semua arti keberanian. Tentang keberanian, Pramoedya Ananta Toer berujar “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”

Ya benar adanya penuturan almarhum Pramudya Ananta Tur, salah satu tokoh sastrawan kita. Keberanian adalah satu terpenting yang mesti kita punya dalam menjalani hidup. Hal itulah yang dimiliki oleh para pejuang perempuan terdahulu dan sebagai generasi masa kini, kita hendaknya memiliki keberanian pula. Masih akan kita lanjutkan perjalanan menyelusuri jejak langkah perempuan pejuang Indonesia, dengan perempuan pejuang yang lain. Siapakah dia, kita akan simak setelah tembang berikut ini. 

 

Banyak cara untuk berjuang, tidak hanya dengan memanggul senjata dan berperang namun juga dengan pena dan pendidikan. Berjuang, baik itu dengan berperang maupun menulis atau lewat pendidikan, sama – sama memberikan sumbangan yang besar bagi perjuangan kemerdekaan atau pembebasan manusia. Kartini, Dewi Sartika dan Rohana Kudus adalah beberapa dari pejuang perempuan yang berjuang dengan menuangkan tulisan dan bergerak melalui pendidikan. Kartini atau Raden Ajeng Kartini adalah salah satu sosok yang kerap menuangkan gagasan kemerdekaannya sebagai perempuan dan bangsa melalui tulisan. Gagasannya yang demikian maju melampaui jamannya menggemparkan nusantara maupun Belanda sendiri. Meski tulisan-tulisannya kepada Abandenon kerap menjadi kontroversi karena diragukan kebenarannya, namun keberadaan pemikiran Kartini tetap diakui hingga kini. Seorang sastrawan terkemuka, Pramudya Ananta Tur, mengabadikannya dalam karyanya “Panggil Aku Kartini Saja” dan sempat menuliskan kisahnya dalam karya tetralogi Rumah Kaca. “Barang siapa tidak berani, dia tidak bakal menang; itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!”  Begitulah ucap Kartini dalam novelnya “Panggil Aku Kartini saja”

Kartini sendiri terlahir dari keluarga bangsawan pada 21 April 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, ia tidak diperkenankan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orang tuanya. Ia menghabiskan waktunya di pingitan sejak lulus Sekolah Dasar. Meski ia bersedih dan marah atas situasi tersebut, Kartini tidak berani menolak. Untuk menghilangkan kesedihannya, Kartini mengumpulkan buku- buku pelajaran dan ilmu pengetahuan lainnya yang dibaca. Memang, Kartini memiliki minat baca yang tinggi. Hal inilah yang kelak kemudian membentuk konsep berpikirnya.

Kartini membaca banyak buku para pemikir Eropa. Dari kegemarannya membaca inilah, ia berkenalan dengan gerakan perempuan Eropa yang begitu dikaguminya. Dari sinilah, Kartini memiliki cita untuk memajukan perempuan Indonesia sebagaimana yang diperjuangkan perempuan Eropa dan telah mencapai kebebasan lebih dibanding perempuan Indonesia yang masih terjajah tidak hanya oleh budaya patriarki tapi juga penjajahan kolonialisme. Dipicu oleh keinginan yang besar tersebut, Kartini mulai mengumpulkan teman- teman perempuannya dan mengajarkan baca tulis kepada mereka. Ia pun menulis surat kepada Mr. J. H Abandenon dan memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.

Tulisan Kartini kepada Abandenon menggemparkan nusantara dan Belanda. Di kemudian hari, diketahui juga suratnya kepada sahabatnya Stella seorang feminis sosialis dari Belanda, yang mencerminkan pemikiran progresifnya dan tentu tak mungkin diterbitkan Belanda. Kepada Stella, Kartini menumpahkan ide dan gagasannya, kegalauannya terhadap adat istiadat yang mengungkung kebebasan perempuan hingga tentang agama.

Tiada berjuang tiada menang; aku akan berjuang, Stella, aku hendak merebut kemerdekaanku. Aku tiada gentar karena keberatan dan kesukaran.… Tetapi ada yang sungguh kusegani. Stella, sudah beberapa kali kuceritakan, aku sayang akan Bapak dengan segenap sukmaku…. Entah akan beranikah aku meneruskan kehendakku, bila akan melukai hatinya.”

 

Dari surat Kartini di atas tercermin kegelisahan Kartini atas pertentangan batinnya, antara berjuang merebut kemerdekaannya dan kaumnya yang pasti akan menyakiti hati ayahandanya atau mengikuti kemauan sang ayah untuk menikah dan dipoligami pula. Pada akhirnya, dan kita semua sudah mengetahui kisah tragis Kartini. Ia memilih menikah dan dipoligami, suatu hal yang paling ia tolak. Meski demikian, di Rembang, kota tempat ia tinggal setelah menikah dengan Bupati Rembang, Kartini berjuang melalui pendidikan dengan mendirikan sekolah untuk perempuan. Di usia yang masih muda, yakni 25 tahun, Kartini menghembuskan nafas terakhirnya setelah melahirkan putra satu-satunya, Pangeran Sahid. Meski Kartini harus menjalani pernikahan dan urung menjalani beasiswa sekolah di Belanda, namun pemikirannya telah memberikan peran besar bagi gerakan perempuan. Tak sedikit perempuan di zamannya atau setelahnya yang tergerak maju untuk terlibat dalam gerakan merebut kemerdekaan bangsa maupun kemerdekaan perempuan.

Tak hanya Kartini yang berjuang untuk pembebasan perempuan dan bangsanya, Dewi Sartika adalah salah satu perempuan yang berjuang untuk perempuan melalui pendidikan. Dewi Sartika bahkan berhasil mendirikan beberapa sekolah untuk peempuan. Kisahnya akan kita simak setelah tembang spesial berikut ini. Masih bersama saya Memey di Perempuan pelita, radio komunitas Marsinah FM tayang tiap Kamis jam 7 malam hingga jam 8 malam. (Lagu)

 

Adalah Dewi Sartika, perempuan asal Bandung yang terlahir dalam keluarga priyayi Sunda pada 4 Desember 1884. Orang tuanya, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara bertekad menyekolahkan Dewi Sartika di sekolah Belanda. Setelah ayahnya meninggal, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya yang merupakan Patih di Cicalengka. Dari pamannya inilah, ia memperoleh pengetahuan mengenai kebudayaan Sunda, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari seorang Asisten Residen berkebangsaan Belanda.

Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakatnya sebagai pendidik. Hal itu terlihat dari aktivitasnya mengajari anak- anak para pelayan di rumahnya baca tulis dan bahasa Belanda. Tentu saja kemampuan anak para pelayan tersebut baca tulis dan berbahasa Belanda membuat gempar  seisi rumah karena baca tulis, apa lagi bahasa Belanda adalah kemampuan yang hanya dimiliki kalangan terbatas saja.

Ketika menginjak usia remaja, Dewi Sartika kembali lagi pada ibunya di Bandung. Semangatnya untuk mendirikan sekolah perempuan tak pernah padam, apalagi ia mendapat dukungan dari pamannya, Bupati Martanagara, yang memiliki keinginan yang sama. Namun, mewujudkan cita-citanya itu tidaklah mudah karena di masanya tak lazim seorang perempuan mendirikan sebuah sekolah perempuan. Karena alasan itulah Pamannya selalu kuatir bila Dewi Sartika tetap mewujudkan niatya. Akan tetapi karena kegigihannya, akhirya sang paman mengizinkan Dewi Sartika mendirikan sekolah untuk perempuan.

Sebagaimana perempuan pada umumnya, Dewi Sartika memasuki pelaminan pada tahun 1906. Ia menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Suaminya sendiri merupakan guru di sekolah Karang Pamulang, yang kala itu adalah sekolah latihan Guru.

Sejak 1902, Dewi Sartika telah mendirikan sekolahnya yang sederhana. Ia melangsungkan kegiatan belajar mengajar di sebuah ruangan kecil di rumah ibunya di Bandung. Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan, seperti merenda, memasak, jahit menjahit membaca, menulis dan sebagainya.

Baru pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se Hindia Belanda. Tenaga pengajarnya pun masih sedikit, yakni hanya tiga orang: Dewi Sartika dan dua saudara misannya, Ny Purwa dan Nyi Uwid. Murid angkatan pertamanya adalah 20 orang dan menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.

Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.

Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi “Sakola Raden Déwi”. Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Di usianya yang sudah lanjut, Dewi Sartika pun berpulang pada 11 September 1947 di Tasikmalaya dan dimakamkan di Cigagadon – Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian ia dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di jalan Karang Anyar, Bandung.

Pena lebih tajam dari pisau demikian kata pepatah. Sehingga berjuang dengan pena bisa sama tajam dengan berjuang di medan perang. Keduanya tak bisa dinihilkan perannya. Kita sudah pernah mengenal Siti Soendari yang berjuang dengan pena, menerbitkan koran untuk pembebasan perempuan. Perempuan Pelita kali ini juga akan memperkenalkan sosok perempuan yang juga berjuang dengan pena dan pendidikan. Sebelum kita mengenal lebih dalam sosok perempuan ini, kita perdengarkan terlebih dahulu tembang berikut ini. (lagu)

Masih di Perempuan Pelita, kita beranjak ke Kota Gadang, tempat seorang perempuan pegiat pendidikan, jurnalis dan pejuang perempuan lahir pada 20 Desember 1884. Ia adalah Rohana Kudus. Rohana Kudus lahir sebagai putri dari Mohamad Rasyad Maharaja Sutan dan Kiam. Rohana Kudus adalah kakak tiri Sutan Syahrir, Perdana Menteri Pertama Indonesia dan juga bibi dari Kairil Anwar, sekaligus sepupu H. Agus Salim. Ia hidup sejaman dengan Kartini sehingga memiliki hambatan yang sama untuk memperoleh pendidikan sebagaimana lelaki. Selain itu, Rohana Kudus mendirikan surat kabar pertama di Indonesia, yakni Sunting Melayu.

Di zamannya, Rohana Kudus adalah salah satu dari perempuan yang meyakini bahwa diskriminasi perempuan termasuk dalam hal pendidikan dan akses publik adalah hal yang harus dilawan. Rohana Kudus pun berkomitmen besar untuk melawan diskriminasi tersebut, yakni dengan menyelenggarakan pendidikan bagi perempuan selain menulis dan meerbitkan surat kabar sebagai pencerah pemikiran perempuan.

Tak seperti Kartini, maupun Dewi Sartika, Rohana Kudus tidak memperoleh pendidikan formal. Ia belajar secara otodidak dari sang ayah yang selalu membawakannya buku dan mengajarinya berbahasa Belanda. Karena kehendak belajarnya yang kuat, di usia yang belia Rohana sudah bisa baca tulis dan bahasa Belanda, abjad Arab dan Latin serta Arab – Melayu. Ketika ayahnya bertugas ke Alahan Panjang, Rohana bertetangga dengan pejabat Belanda, atasan ayahnya. Istri pejabat Belanda itulah yang mengajari Rohana menjahit, menyulam, merenda dan merajut yang adalah keahlian perempuan Belanda. Dari mereka pula, Rohana kerap membaca terbitan majalah Belanda yang memuat beragam berita politik, gaya hidup, dan pendidikan Eropa.

Di usianya yang menginjak 24 tahun, Rohana menikah dengna Abdul Kudus yang bekerja sebagai notaris. Rohana mendirikan sekolah ketrampilan khusus perempua pada tahun 1911 yang bernama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Sekolah yang ia dirikan ini mengajarkan ketrampilan untuk perempuan, mengelola keuangan, tulis – baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda. Perjuangan Rohana mendirikan sekolah tidak mudah, banyak rintangan yang ia hadapi. Perjuangan pembebasan perempuan mendapat tentangan dari para pemuka adat dan masyarakat Koto Gadang yang kolot memegang adat istiadat. Salah satunya adalah banyaknya fitnah yang ditujukan padanya.

Demi kelancaran kegiatan belajar mengajar di sekolah yang baru saja ia dirikan, Rohana menjalin kerja sama dengan Pemerintah Belanda. Bentuk kerja sama itu antara lain memesan peralatan dan kebutuhan jahit menjahit untuk kepentingan sekolahnya.  Tak hanya itu, Rohana turut menjadi perantara dalam memasarkan kerajinan tangan muridnya ke Eropa. Maka, sekolah yang didirikan Rohana juga berfungsi sebagai idustri rumah tangga, koperasi simpan pinjam hingga jual beli yang semua anggotanya adalah perempuan.

Selain itu, Rohana juga giat menulis puisi maupun artikel serta asih berbahasa Belanda. Dan karena aktifitasnya tersebut Rohana dikenal oleh petinggi Belanda sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatera Barat.

Keaktifannya menulis ini yang kemudian mendorongnya menerbitkan surat kabar bernama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Sunting Melayu pun menjadi surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya semua adalah perempuan.

Perjuangannya tak selalu mulus, pada tahun 1916 ia dituduh menyelewengkan dana sekolah Amai Setia oleh muridnya sendiri. Akibatnya, Rohana kehilangan jabatannya sebagai direktris dan kepala sekolah.  Beberapa kali persidangan pun digelar di Bukittinggi. Setelah beberapa kali persidangan, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Rohana bersalah sehingga jabatan di sekolah pun dikembalikan padanya namun ditolak oleh Rohana dengan alasan ia akan pindah ke Bukittinggi. Di Bukittinggi inilah Rohana mendirikan sekolah bernama “Rohana School”. Ia mengelola sekolahnya sendiri hingga sekolah tersebut terkenal dan memperoleh banyak siswa. Hal itu dikarenakan Rohana cukup dikenal sebagai penulis yang baik, dengan pengalaman di bidang pendidikan yang luar biasa. Di bukittinggi ini pula, Rohana menambah ilmunya dengan belajar membordir dari orang China dengan menggunakan mesin jahit Singer. Dari sini pula, Rohana mulai membangun bisnisnya yakni menjadi agen mesin jahit bagi murid sekolahnya sendiri. Tercatat, Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi agen mesin jahit Singer pertama.

Di kemudian hari, Rohana mendapat tawaran mengajar di Dharma Putra. Di sekolah ini ia tidak hanya mengajar siswa perempuan tapi juga siswa lelaki. Rohana mengisi pelajaran ketrampilan menyulam dan merenda. Semua guru di sekolah tersebut adalah lulusan pendidikan formal, kecuali Rohana Kudus. Meski demikian, Rohana tidak hanya pintar mengajar ketrampilan tapi juga mata pelajaran Agama, budi pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra serta tekhnik menulis Jurnalistik.

Kiprah Rohana tidak hanya di bidang pendidikan, ia juga turut membantu gerakan politik melawan Belanda melalui tulisannya. Rohana mempelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk membantu gerilyawan. Dia pula yang mencetuskan gagasan untuk menyelundupkan senjata dari Kotagadang ke Bukittinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayur dan buah- buahan yang lalu dibawa ke Payakumbuh dengan Kereta api

Hingga akhir hayatnya, Rohana masih sempat mengajar dan menerbitkan surat kabar Perempuan Bergerak. Ia juga menjadi redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan Tionghoa – melayu di Padang dan Surat Kabar Cahaya Sumatera. Tertanggal 17 Agustus 1972, akhirnya ia meninggal di usia 88 tahun, meninggalkan kenangan indah berupa pengalaman juang tak terlupakan pada generasi perempuan.

Demikianlah kisah para perempuan pejuang awal bangsa Indonesia, bagian dari sekian banyak perempuan pelaku sejarah yang membawa pelita bagi perempuan dan Bangsa Indonesia. Perempuan siapa lagi yang akan membawa pelita bagi masyarakat dan dunia? Terus ikuti kisah-kisah perempuan hebat, hanya di PEREMPUAN PELITA setiap Hari Kamis jam 19 hingga jam 20, di Radio Buruh Perempuan, MARSINAH 106 FM, dari perempuan buruh untuk kesejahteraan dan kesetaraan.

Lagu penutup segera kita putarkan, Dan saya (nama penyiar) undur diri, salam kesetaraan dan sampai jumpa kamis depan.