Wangari Muta Maathai, Ibu Pohon dari Afrika

PEREMPUAN PELITA

EDISI 03 JULI 2013

Image 

Selamat malam sahabat Marsinah, jumpa lagi bersama saya Memey tentu saja di rubrik Perempuan Pelita, Marsinah 106 FM yang untuk ke sekian kalinya hadir untuk kamu semua. Seperti biasa, Rubrik Perempuan Pelita menghadirkan sosok perempuan yang menginspirasi dan memberi semangat bagi sahabat marsinah. Kali ini kita akan berkunjung ke Kenya untuk mengikuti kisah seorang perempuan kulit hitam yang berjuang bagi lingkungan, perempuan kulit hitam dan rakyatnya. Siapakah dia, sosoknya akan segera hadir setelah satu tembang manis berikut ini. (lagu dan iklan)

 Adalah Wangari Muta Maathai, perempuan kulit hitam pertama di Afrika Tengah dan Afrika Timur yang berhasil memperoleh gelar Doktor. Suatu hal yang luar biasa yang bisa dilakukan oleh perempuan luar biasa. semua itu ia peroleh karena kecerdasannya sehingga berhasil memperoleh beasiswa. Perempuan ini terlahir di sebuah negeri Afrika bernama Kenya 1 April 1940. Bicara tentang Kenya, negeri Afrika ini tidak lepas dari kemiskinan dan konflik saudara. Perbudakan selama berabad-abad di negeri-negeri Afrika oleh para penjajah menyebabkan Kenya terjebak dalam kemiskinan dan keterbelaangan.Baru pada tahun 1997, Undang-undang represif atau tidak demokratis warisan kolonial mulai direvisi dan direformasi. Di negeri inilah, Wangari Muta Maathai lahir dan dibesarkan. Kenya sendiri merupakan negara Republik yang terletak di kawasan Afrika Timur, yang dihuni oleh sekitar 34 juta penduduk di tahun 2010.

 Pengalaman pendidikan ia peroleh di sebuah universitas bernama Universitas Santa Scholastica di Atchison, Kansas pada tahun 1964. Baru pada tahun 1966 ia meneruskan pendidikannya di Universitas Pittsburgh untuk memperoleh gelar Master Ilmu Alam dan di tahun 1971, perempuan cerdas ini mengambil gelar Doktor di Jerman dan gelar PhD di Universitas Nairobi. Di Universitas Nairobi inilah ia juga mengajar anatomi hewan. Bahkan, ia sempat menduduki kursi Departemen Anatomi Hewan dan lektor pada tahun 1976 dan 1977. Ia menjadi perempuan pertama yang menduduki jabatan tersebut di atas di wilayah tersebut. Selain berkecimpung di dunia akademik, Wangari juga aktif di gerakan perempuan, ia sempat aktif di Dewan Nasional Perempuan Kenya pada tahun 1976 – 1987 dan menjadi ketua dari organisasi tersebut periode 1981 -1987.  

Di organisasi inilah ia memperkenalkan gagasan menanam pohon bersama rakyat pada tahun 1976 dan terus membangun organisasi akar rumput dengan fokus lingkungan yakni penanaman pohon bersama berbagai kelompok perempuan agar bisa memelihara lingkungan alam dan meningkatkan kualitas kehidupan. Melalui Gerakan Sabuk Hijau, ia mengajak perempuan menanam lebih dari 20 juta pohon di perkebunan mereka , di sekolah dan di lingkungan gereja.   Pada tahun 1986, gerakan membangun sebuah jaringan Sabuk Hijau Pan Afrika dan telah mengekspos 40 individu dari negeri Afrika lain untuk didekati. Beberapa dari individu ini telah membangun inisiatif penanaman pohon di negeri mereka sendiri atau mereka menggunakan beberapa metode Gerakan Sabuk Hijau untuk meningkatkan usaha  mereka. Sejauh ini, beberapa negara telah berhasil melakukan inisiatif yang sama di Afrika seperti Tanzania, Uganda, Malawi, Lesotho, Ethiopia, Zimbabwe, dll).

Pada bulan September 1998, ia bahkan berhasil meluncurkan kampanye ulang tahun Koalisi Afrika 2000.Ia telah memulai banyak tantangan baru, memainkan peran global sebagai pemimpin kampanye ulang tahun Afrika 2000, yang menjari pembatalan utang tak terbayar di negara miskin di Afrika pada tahun 2000. Kampanyenya melawan perampasan tanah dan alokasi hutan yang rakus telah menjadi jalan penerang di beberapa tahun terakhir.

Perjuangan Wangari untuk lingkungan, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi mendapat pengakuan dari dunia internasional. Berbagai penghargaan berhasil diraihnya, termasuk Nobel Perdamaian 2004. Penghargaan lainnya juga diraihnya seperti The Sophie Prize (2004), The Petra Kelly Prize for Environment (2004), The Conservation Scientist Award (2004), J. Sterling Morton Award (2004), WANGO Environment Award (2003), Outstanding Vision and Commitment Award (2002), Excellence Award from the Kenyan Community Abroad (2001), Golden Ark Award (1994), Juliet Hollister Award (2001), Jane Adams Leadership Award (1993), Edinburgh Medal (1993), The Hunger Project’s Africa Prize for Leadership (1991), Goldman Environmental Prize (1991), the Woman of the World (1989), Windstar Award for the Environment (1988), Better World Society Award (1986), Right Livelihood Award (1984) and the Woman of the Year Award (1983). Professor Maathai was also listed on UNEP’s Global 500 Hall of Fame and named one of the 100 heroines of the world.

Beberapa ajang pun ia hadiri, salah satunya adalah beberapa ajang PBB dimana ia berpidato di hadapan Dewan Umum PBB untuk review lima tahunan pertemuan bumi. Ia menghadiri Komisi untuk Kebijakan Global dan Komisi untuk Masa Depan. Ia bersama dengan Gerakan Sabuk Hijau telah diterbitkan dalam berbagai publikasi termasuk “Gerakan Sabuk Hijau: Berbagai Pendekatan”, Berbicara tentang Kebenaran Menuju Kekuasaan, Perempuan Pelopor untuk Lingkungan, Di Ujung Harapan: Diat Berikutnya untuk Planet Kecil, Una Sola Terra: Donna I Medi Ambient Despres de Rio (Brice Lalonde et al., 1998), Land Ist Leben (Bedrohte Volker, 1993).

Profesor Maathai aktif juga dalam beberapa organisasi termasuk Dewan Penasehat Sekretaris Jenderal PBB untuk Perlucutan Senjata, Institut Jane Goodall, Organisasi Perempuan dan Lingkungan, Pembelajaran Dunia untuk Pembangunan Internasional, Palang Hijau Internasional, Pusat Penghubung Lingkungan Internasional, Jaringan Perempuan Seluruh Dunia dalam Kerja Lingkungan dan Dewan Nasional Perempuan Kenya. Sementara, di bulan Desember 2002, Profesor Maathai terpilih sebagai anggota Parlemen dengan hampir 98%. Ia ditunjuk oleh Presiden Kenya sebagai Asisten Menteri Lingkungan Hidup, Sumber Alam dan Kehidupan Buas di parlemen ke 9 Kenya. 

 Bukan tanpa lanImagedasan mengapa Maathai begitu kukuh memperjuangkan kelestarian lingkungan. Pengalaman yang membuat Maathai sangat peduli terhadap lingkungan. Bagaimanakah perjalanan masa kecil perempuan hebat ini? Kita saksikan yuk setelah lagu asiik yang satu ini.

Masih di Marsinah 106 FM, radio komunitas perempuan buruh untuk kesejahteraan dan kesetaraan.   Tempat kelahiran Maathai adalah di Ihithe, distrik Nyeri, Kenya, sebuah wilayah sentral kepulauan yang didominasi oleh rakyat Kikuyu. Ketika berusia 3 tahun, keluarga Maathai direlokasi ke daerah pertanian dekat Nakuru, di perbukitan Rift, tempat dimana sang ayah bekerja. Menginjak usia 7 tahun, ia dan ibunya kembali ke Ithithe dan Maathai pun bersekolah di sebuah Sekolah Dasar Lokal bersama kedua saudara lelakinya.   Menginjak usia 11 tahun pada tahun 1951, Maathai mulai belajar di sekolah Katholik bernama Misi Katolik Mathari di Nyeri, dan melanjutkan sekolah ke Sekolah Dasar Menengah Cecilia. Di masa inilah Ia beralih ke agama Khatolik dan memiliki nama Babtis Maria Josephine. Setelah 4 tahun bersekolah di Sekolah Menengah Atas Katholik untuk perempuan yaitu Sekolah Menengah Atas Loreto di Limuru, ia dikenal sebagai siswa yang luar biasa cerdas.   Kecerdasannya mengundang decak kagum para pendidiknya di sekolah, ketika hendak masuk kuliah pada tahun 1959, Maathai terpilih masuk kuliah di Universitas Afrika Timur di Kampala. Waktu itu, ia dipilih oleh Yayasan Joseph Kennedy untuk mengikuti program “Airlift Kennedy Afrika”, yang memberikan beasiswa kepada 300 siswa ke Amerika Serikat. Program beasiswa ini direkomendasikan oleh Tom Mboya. Maathai sendiri akhirnya berkuliah di Universitas Santa Scholatica (sekarang, Universitas Benedictine) di Kansas.  

Ketika ia duduk di Dewan Perempuan Nasional periode 1976 – 1987 dan mendengarkan keluahan kaum perempuan urban tentang degradasi lingkungan, persediaan air yang makin berkurang akibat deforestasi yang membabi buta, pembangunan agrikultur dan pemukiman penduduk. Berdasarkan inilah ia terinspirasi untuk menggagas komunitas berbasis penanaman pohon.

Saat ia mengetahui kebutuhan perempuan dan tanah, ia berpikir “Kenapa tidak menanam pohon saja?” gagasan itu sekaligus untuk memenuhi pendapatan perempuan, membanut kaum perempuan untuk memecah belenggu kemiskinan dan meningkatkan kesadaran lingkungan. Gerakan akar rumput ini yang kemudian dinamai gerakan sabuk hijau yang tumbuh sebagai organisasi internasional dengan banyak cabang di banyak negeri Afrika, dan Jepang. Hingga sekarang, Gerakan Sabuk Hijau sudah menanam lebih dari 47 juta pohon dan membantu 900 ribu perempuan. Karena itulah Maathai dijuluki “Ibu Pohon”.

Gerakan Sabuk Hijau pun terkenal sebagai sebuah organisasi yang dibangun dengan agenda sosial, ekonomi dan lingkungan. Maathai sadar, ia harus melakukan yang terbaik yang bisa dilakukannya.   Melalui gerakan sabuk hijau ini, Maathai mulai proses reklamasi lahan di negerinya meski harus berhadapan dengna ancaman deforestasi. Karena kegigihannya ia berhasil membantu kaum perempuan menanam lebih dari 130 juta pohon di ladang-ladang mereka, termasuk di pekarangan sekolah dan gereja. Tak hanya itu, Maathai juga menyerukan  kepada kaum ibu supaya memberikan pohon sebagai hadiah ulang tahun anak mereka, bukan boneka, bukan makanan, tetapi pohon.    “Persoalan lingkungan memang sangat terkait dengan masalah demokrasi dan perdamaian. Dia bisa menentukan jalannya demokrasi. Ini satu definisi di planet ini. Saya berpendapat demokrasi merupakan upaya, kesempatan, aspirasi dari setiap orang, baik kaya maupun miskin, pria atau wanita, tua dan muda, untuk membangun dunia penuh perdamaian. Mereka mendapat kesempatan yang sama. Ini yang memberikan keberanian bagi saya dalam mengatasi problema yang sangat kompleks di negara saya,” ungkapnya panjang.

Maathai juga menegaskan ”Orang-oranglah yang harus menyelamatkan lingkungan. Orang-oranglah yang harus membuat pemimpin mereka berubah. Dan kita tidak bisa diintimidasi. Jadi, kita harus membela apa yang kita yakini.”. Perempuan yang akhirnya berpisah dari suaminya itu juga menyediakan sumber – sumber makanan baru dan penghasilan bagi masyarakat pedesaan, serta memberdayakan kaum perempuan dengan memberikan peran vital bagi mereka di bidang politik. Karena peran vital perempuan di bidang politik inilah akhirnya sang diktator terpaksa mengakhiri kekuasaannya di Kenya setelah 24 tahun.  Maathai sendiri berjuang untuk masuk parlemen pada tahun 1969 namun gagal. Pada tahun yang sama, Tom Mboya dibunuh dan Presiden Jomo Kenyatta berhasil menindak kaum oposisi.  Image

Bagi publik, Maathai tidak hanya aktivis lingkungan, namun lebih dari itu. Ia adalah seorang feminis, politisi, profesor, aktifis politik. Karyanya tidak pernah berhenti untuk lingkungan, perempuan dan Hak Asasi Manusia. Bagaimana Maathai di mata publik dan orang- orang di sekitarnya? Kami akan kembali setelah persembahan lagu berikut ini, masih di Perempuan Pelita, Marsinah 106 FM.

The New York Times menyebutnya “seorang aktifis lingkungan, feminis, politisi, professor, rakyat jelata, dan aktifis Hak Asasi Manusia. Ia dilabeli “subversif” oleh Presiden Kenya sebelumnya, Daniel Arap Moi ketika ia berjuang mealwan rencana pemerintah membangun gedung pencakar langit di tengah taman Nairobi. Sesaat setelah pembatalan pembangunan gedung pencakar langit itu, polisi memukul Maathai hingga tidak sadarkan diri.Bahkan ketika ia mengkritik hakim yang menyidang kasus perceraiannya, ia dimasukkan ke dalam penjara.

Dalam sebuah pernyataan, Hillary Clinton, Sekretaris Negara AS menulis “Dr Maathai sedari awal adalah sosok yang tidak kenal lelah membela lingkungan, untuk perempuan dan untuk semua yang sedang membangun dunia yang bahkan tidak menyadari potensi mereka sendiri. Ia mendirikan Gerakan Sabuk Hijau yang telah menanam jutaan pohon dan membantu perempuan hampir di seluruh benua Afrika untuk membantu meningkatkan taraf hidup mereka dan masa depan keluarga dan komunitas emreka. Ia memahami koneksi mendalam antara persoalan lokal dan global dan ia membantu penduduk setempat untuk menyuarakan haknya.

Kematiannya meninggalkan lubang di tengah – tengah pimpinan perempuan tetapi ia meninggalkan sebuah yayasan yang solid untuk terus dilanjutkan pembangunannya. Saya terinspirasi oleh kisahnya dan bangga menyebutnya sebagai teman” Professor Shadrack Gutto dari Pusat Studi Pencerahan Afrika di Universitas Afrika Selatan berpendapat tentangnya “Ia menjadi bagian dari liga Nelson Mandela. Seseorang yang berjuang untuk sesaa dan tidak pernah memikirkan dirinya sendiri, bekerja tanpa kenal lelah untuk memberikan kemerdekaan dan martabat sesamanya tanpa mengharapkan imbalan

Website Penghargaan Nobel menulis “Dr. Maathai telah diakui secara internasional atas perjuangannya untuk demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan lingkungan. Ia telahh diundang di berbagai acara pertemuan PBB beberapa kali dan berbicara tentang perempuan di sesi khusus pada Pertemuan Lima Tahunan  Dewan Umum PBB tentang Bumi. Maathai meninggal di usia 71 tahun pada tahun 2011 dengan meninggalkan banyak inspirasi bagi kita semua, dan tiga anaknya  – Waweru, Wanjira, dan Muta – dan seorang cucu perempuan Ruth Wangari. Orang yang berjuang untuk  kehidupan dirinya dan sesama, tidak pernah mati, ia selalu hidup melalui kita yang meneruskan perjuangannya. Demikian kisah seorang perempuan Afrika yang terpinggirkan oleh rasisme namun terus berkarya untuk kebaikan dan membuktikan bahwa perempuan kulit hitam juga bisa berdaya. Saya, Memey, beserta kerabat kerja Marsinah FM undur diri dari sahabat Marsinah. Kita akan bersua lagi minggu depan di hari dan jam yang sama, yaitu di hari kamis jam 7 – 8 malam. Salam setara, sampai jumpa.

Tinggalkan komentar