Mama Yosepha: Perempuan Tangguh dari Tanah Papua

Perempuan Pelita Edisi 13 Juni 2013

Image

Salam setara sahabat Marsinah, jumpa lagi bersama saya Dias di Rubrik Perempuan Pelita, Marsinah 106 FM. Perempuan Pelita adalah rubrik kesayangan anda yang hadir setiap hari Kamis jam 7 – 8 malam dengan berbagai sosok perempuan yang inspiratif. Kali ini kita akan berkunjung ke tanah Papua, sebuah tanah yang kaya akan emas namun dengan kondisi rakyat yang memprihatinkan dan penuh konflik. Kita akan bertemu dengan sosok perempuan tangguh yang siap memperjuangkan hak – hak rakyat Papua. Siapakah dia? Tetaplah di Perempuan Pelita, Marsinah 106 FM, bersama saya, Dias, setelah tembang yang satu ini. (lagu dan iklan)

 

Suatu hari di tanah Papua, tepatnya di Tsinga, 1940an, lahirlah seorang bayi perempuan yang sehat. Kepadanya diberikan nama Yosepha Alomang. Kelak ia akrab dipanggil Mama Yosepha. Yosepha terlahir sebagai anak yatim piatu dan hidup bersama ayah tirinya. Sejak kecil, Yosepha  hidup berpindah-pindah bersama dengan penduduk desa lainnya, karena perintah pemerintah Belanda dan kemudian pemerintah Indonesia.

 

Sejak muda, Yosepha telah memiliki tekad dan kemandirian yang besar karena sejak bayi telah menjadi anak yatim dan dibesarkan di antara keluarga tirinya yang tidak menunjukkan sikap bersahabat dengannya. Dalam buku biografinya yang berjudul Yosepha Alomang: Pergulatan Seorang Perempuan Papua Melawan Penindasan, Yosepha berkisah

“Sebagai anak piatu, kehidupan saya kurang beruntung. Dalam Adat orang Amungme, anak piatu dipandang sebagai sesuatu yang tidak baik dan jelek. Kebetulan bapak Philipus Alomang memiliki 8 orang anak, dua anak laki-laki dan delapan perempuan (dua di antaranya telah meninggal dari istri yang lain. Pada waktu itu, beberapa anak dari Bapak Phillip telah menikah. Jadi selain hidup dengan bapak, saya juga biasa hidup dengan kakak-kakak. Sebagai anak kecil, saya sering menangis karena lapar. Karena keadaan bapak yang sudah tua dan sering sakit, bapak sudah tidak kuat untuk berkebun, saya yang biasa menjaga dan merawat bapak di rumah. “

 

Menurut Yosepha, ayahnya ini sangat baik dan sayang padanya, sering kali sang ayah menyimpankan makanan bagi Yosepha supaya tidak dihabiskan oleh saudara-saudaranya yang lain. Bahkan, di antara saudara-saudaranya yang lain, Yosepha paling jarang dipukul. Karena itulah, saudara-saudaranya kerap memukuli Yosepha sebagai bentuk rasa iri atas kasih sayang sang ayah yang lebih padanya. Dalam masyarakat Papua, kata Yosepha memang ada kebiasaan yang meminggirkan anak piatu, karena itulah Yosepha harus mencari makan sendiri dan untuk mendapat nasihat dari orang – orang tua, ia harus bayar nasihat itu.

Mana kala Yosepha sudah menginjak remaja, barulah ia mengerti tentang kondisinya dan rakyat Papua sekitar. Barulah ia tergerak untuk membantu orang- orang yang membutuhkan bantuan. Mama – mama yang tua ia bantuk dengan menggosokan daun gatal untuk mereka, timba air untuk mereka, bahkan ketika ibu- ibu yang hendak melahirkan ia bantu dengan senang hati.

Pernah ada suatu peristiwa yang tidak terlupakan oleh Yosepha. Sewaktu ia kecil, ia merasa lapar luar biasa dan menangis minta makan kepada ayahnya. Saat itulah sang ayah marah dan memukuli kakaknya untuk cari makan. Ketika sang ayah pergi, kakak-kakak Yosepha kesal lalu ganti memukuli Yosepha. Mereka mengangkat Yosepha kecil ke atas tunggu api sampai kulit melepuh dan bulu – bulu kulit habis terbakar. Setelah tidak tersadarkan diri, Yosepha kecil ditinggalkan begitu saja di luar rumah. Namun, seberapapun kejam kakak-kakaknya, Yosepha tidak menaruh dendam. Di usianya yang ke 9, Yosepha bertemu dengan orang Indonesia, yang tampak lain baginya. Kulitnya putih-putih, tutur Yosepha. Orang Indonesia kemudian dijuluki Lambau oleh orang Papua.

 

Sejak kedatangan Lambaulah, masyarakat Papua kemudian disuruh pindah dari Belakmama ke Agimuma karena ada program pertanian. Masyarakat Papua dipaksa pindah dengan diikat seperti hewan, ada yang berteriak, berlarian. Saat itulah, Yosepha terpisah dari ayahnya dan mulai dirawat oleh Mongol Amisim dan istrinya, Martina Aimin. Merekalah yang kemudian mengantarkan Yosepha kembali ke keluarganya di Agimuga. Selama di Agimuga, Yosepha tinggal bersama kakaknya Elena dan suaminya, namun Yosepha kerap dipukul sehingga Yosepha memilih tinggal bersama Mama Ana Timang, seorang janda, tetangga Kakak Elena. Namun Mama Ana meninggal dan anaknya menikah, Yosepha tinggal bersama dengan Ibu perawat Theresia Amisin dan Jan Magal. Baru ketika Yosepha menginjak usia 15 tahun,  ia tinggal dengan pamannya. Namun, Yosepha tidak lama tinggal bersama sang paman, ia memutuskan berhenti sekolah dan menikah dengan Markus Kwalik di awal tahun 1970an. Waktu itu usia Yosepha masih 15 tahun sementara Markus Kwalik sudah berusia 30 tahun. Namun pernikahan tersebut tidak berjalan mulus karena sang suami gagal membayar uang maharnya sesuai tuntutan adat. Bahkan saudara-saudaranya sampai mengejar Yosepha dan suami hingga ke Belakmakama dan menyuruh Yosepha kembali ke Agimuga. Kala itu, terpaksa Yosepha ikut saudara-saudaranya karena tidak ada pilihan lain. Namun karena tidak betah, Yosepha kembali kabur ke suaminya di Belakmakama. Sementara untuk melunasi mas kawin itu, Yosepha sendirilah yang bekerja keras menabung dan ikut membayarnya. Semua itu untuk menghindari kemarahan keluarga tirinya. Di kala situasi berat itu, sang suami mulai banyak minum minuman keras. Bagi Yosepha, alkohol sengaja diperkenalkan kepada rakyat Papua untuk merusak mereka. Maka, mulailah Yosepha mengampanyekan pelarangan peredaran minuman keras di Timika. Suatu ketika, Yosepha tidak berada di rumah, dan suaminya menjual tanah milik Yosepha agar dapat membeli minuman. Ketika anaknya yang paling bungsu baru berusia 8 bulan, Yosepha menutuskan meninggalkan suami karena kebiasaan minuman kerasnya menghancurkan kehidupan keluarganya.

Benar-benar berat hidup Mama Yosepha, namun hal itu justru membuatnya berjuang sekuat tenaga untuk menghadapinya. Bahkan lebih jauh lagi, membuat Mama Yosepha untuk memperjuangkan rakyat Papua yang lapar dan miskin akibat eksploitasi yang berlangsung di Papua. Bagaimana perjuangan Mama Yosepha selanjutnya? Kita ikuti setelah yang satu ini ya, spesial buat sahabat Marsinah.

Sejak tahun 1967, dengan pendekatan kekuasaan, Freeport telah ada di tanah Papua, dan bersamaan dengan itu, rakyat setempat kehilangan hak-haknya. Di sinilah, Yosepha maju ke depan membela hak  rakyat Papua, khususnya rakyat sekitar PT. Freeport Indonesia. Melawan PT. Freeport telah menjadi bagian dari kehidupan dan pekerjaan Yosepha. Yosepha merasakan pedihnya kemiskinan akibat eksploitasi korporasi besar tersebut. Kepedihan itu terasa ketika anak sulungnya, Johanna (lahir tahun 1974) meninggal pada tahun 1977 akibat kelaparan. Peristiwa itu terjadi ketika Yosepha bersama seluruh keluarga bersembunyi dari kejaran militer di hutan-hutan. Operasi militer ini dilakukan setelah ratusan rakyat Amungme memotong pipa milik PT. Freeport, karena PT. Freeport dianggap telah merampas tanah rakyat Amungme di Agimuga.

Dengan bantuan Gereja, Yosepha beserta sejumlah perempuan lainnya membangun koperasi guna memasarkan buah-buahan dan sayuran hasil tanaman mereka. Namun perusahaan itu justru mendatangkan bahan dari luar Papua. Karenanya, para perempuan Papua ini melakukan protes dengan menghancurkan buah-buahan dan sayuran impor.

Pada tahun 1974, Freeport menandatangani kesepakatan dengan suku Amungme – Komoro tapi tak satupun rakyat Papua yang mengerti isi kesepakatan tersebut. Sejak itulah Mama Yosepha beserta masyarakat setempat melakukan aksi protes “potong sayur Freeport”. Padahal sebelumnya, sudah ada perjanjian bahwa Freeport akan membeli sayur dari rakyat setempat, namun justru diingkari. Aksi potong sayur Mama Yosepha ini bahkan memaksanya berhadapan dengan tentara. Dengan marah, Mama Yosepha pun meminta kepada pihak tentara untuk berada di tengah bukan di pihak PT. Freeport.

Waktu itu, di tahun 1977, terjadi pembakaran pipa PT. Freeport. Mama Yosepha sama sekali tidak tahu tentang peristiwa ini, dan kala itu ia tengah mengandung anaknya yang ke dua. Sebenarnya situasi sudah mulai memanas sebelum peristiwa tersebut, akibatnya kesehatan Mama Yosepha pun terganggu dan terpaksa pergi ke Kokonao untuk berobat dan melahirkan di tempat itu. Setelah melahirkan, Mama Yosepha kembali ke Amungme, namun semua orang Amungme tidak ada di tempat. Sampai pada suatu malam, muncul seorang lelaki mengangkat barang-barangnya dan mengantarnya lari ke hutan. Saat itulah, asap mengepul hingga ke langit selama tiga hari di Amungme. Dari situlah, Mama Yosepha mengetahui dari masyarakat sekitar bahwa pipa Freeport telah dibakar. Dari peristiwa inilah, ribuan tentara dikirimkan. Beberapa rakyat biasa ditangkapi dan dituduh anggota OPM, perempuan dan anak-anak banyak dibunuh. Mama Yosepha merasa miris. Selama peristiwa itu, rakyat Amungme menderita kelaparan. Anak pertama Mama Yosepha yang masih berusia 5 tahun pun mati kelaparan.

Setelah peristiwa 1977, banyak masyarakat Indonesia datang ke Papua. Bagi Mama Yosepha itu tak apa asal tidak datang dengan senjata untuk perang, asal minta ijin baik-baik pada rakyat Papua yang punya tanah entah untuk berkebunkan, bangun rumah kah, atau lainnya. Setahun kemudian, Mama Yosepha bahkan berani membantu membebaskan Kansius Kwalik yang ditahan  karena dituduh mata-mata OPM. Dengan mengumpulkan uang untuk jaminan bagi pembebasan Kansius Kwalik.

Perjuangan membantu rakyat Papua terus dilakukan oleh Mama Yosepha dengan berbagai cara, termasuk salah satu diantaranya membentuk Kelompok Doa dan koperasi simpan pinjam yang kemudian diberi nama Koperasi Kulakok yang bahkan bisa berkembang pesat. Sementara, pembunuhan demi pembunuhan masih terus berlangsung di tanah Papua. Sekitar tahun 1984, 15 orang amungme diambil oleh tentara dari rumahnya karena dituduh membantu OPM. 10 dari 15 orang tersebut kemudian dikembalikan ke rumahnya masing-masing, namun 5 orang lainnya masih ditahan. Beberapa hari setelah penangkapan tersebut, digelar perayaan kemerdekaan Indonesia dimana Paulus Magal, seorang kepala desa yang ikut ditahan dan dikembalikan naik berpidato. Dalam pidatonya ia memprotes penangkapan tentara atas dirinya. Setelah pidato tersebut, Paulus Magal ditemukan tewas di rumahnya. Protespun dilakukan oleh masyarakat sekitar dengan melakukan suatu adat, dimana tangan sebelah kanan jenazah Paulus Magal dicat warna merah sebagai pertanda kemanapun arwahnya pergi akan mengejar pelaku pembunuhan.

Protes –protes lainnya kemudian menyusul. Pada tahun 1986 Mama Yosepha beserta mama- mama lainnya memotong sayur lagi dari Freeport karena tidak disediakannya konainer dan timbangan sayur yang mempermudah proses penjualan hasil kebun mereka. Aksi tersebut kemudian membuahkan hasil karena Freeport memenuhi tuntutan mereka.

Pada tahun 1991, Yosepha bahkan mengadakan aksi demonstrasi selama tiga hari berturut-turut di bandara udara di Timika dengan memasang api di landasan udara sebagai tanda protes atas penolakan Freeport dan Pemerintah Indonesia untuk mendengarkan suara keprihatinan rakyat setempat dan perlakukan buruk yang terus menerus terhadap rakyat Papua. Pada tahun 1994, Yosepha ditangkap karena dicurigai menolong salah seorang tokoh Organisasi Papua Merdeka atau OPM, Kelly Kwalik. Bersama dengan seorang perempuan lainnya, Mama Yuliana, Yosepha dimasukkan ke tempat penampungan kotoran manusia. Disana, Mama Yosepha dan Mama Yuliana disekap selama seminggu di tengah kotoran manusia setinggi lutut. Baru dua tahun kemudian, Yosepha mengajukan tuntutan perdata kepada Freeport McMoran Copper & Gold di Amerika Serikat dan menuntut ganti rugi bagi dirinya dan untuk kerusakan lingkungan yang diakibatkan selama korporasi internasional itu beroperasi.

Mana kala ia mendengar berita runtuhnya bendungan Wanagon pada Mei 2000, Mama Yosepha segera kembali dari Jayapura ke Timika. Di sana ia berhasil mengunjungi tempat kejadian dan menyaksikan kerusakan yang ditimbulkannya terhadap kebun, rumah dan ternak rakyat setempat. Setelah itu, Yosepha kembali ke Jayapura bersama dengan sejumlah rakyat Amungme lainnya dan melakukan aksi demonstrasi di depan gedung DPRD.

Benar-benar luar biasa perjuangan mama Yosepha, sama – sama luar biasa dengan kekejaman yang diterimanya sebagai bagian dari rakyat Papua. Kita akan lanjutkan kisah sosok Mama Yosepha ini, tentu saja di Perempuan Pelita, marsinah 106 FM bersama saya Dias. Cekidot (lagu dan iklan)

Kegigihan Mama Yosepha melawan PT. Freeport akhirnya membuahkan hasil. Korporasi emas terbesar di dunia itu memutuskan memberikan ganti rugi sebesar $248.000 kepada Mama Yosepha yang kemudian digunakan untuk membangun Kompleks Yosepha Alomang. Kompleks ini terdiri dari sebuah klinik, gedung pertemuan, panti asuhan anak yatim dan monumen pelanggaran hak – hak asasi manusia. Di tahun yang sama, Mama Yosepha kemudian memperoleh penghargaan Anugerah Lingkungan Goldman.

Pada tahun 2001, Mama Yosepha kemudian mendirikan YAHAMAK (Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan) dengan uang yang diterimanya ketika ia memperoleh penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun 1999.

Meski Freeport telah memberikan uang dalam jumlah yang sangat besar kepada Mama Yosepha, perjuangannya melawan perusahaan itu terus berlanjut. Pada akhir 2003, ketika sebuah lubang penambangan runtung di tambang Grasberg milik Freeport dan menewaskan 9 orang buruh tambang, Yosepha kembali menyerukan agar Freeport menghentikan operasinya di Indonesia, karena dianggap telah menyebabkan kecelakaan serta kerusakan lingkungan hidup secara besar-besaran. Terakhir bahkan Freeport kembali memakan korban nyawa beberapa buruh PT. Freeport ketika baru-baru ini terowongan bawah tanah Freeport runtuh.

Begitulah perjuangan mama Yosepha dan hingga kini pun ia masih berjuang demi kemanusiaan di Papua. Semoga sosoknya bisa menginspirasi sahabat marsinah semua agar berani berbuat untuk kebenaran dan keadilan. Baiklah sahabat marsinah, sampai juga kita di penghujung waktu kita, kami dari Kerabat marsinah fm menyatakan undur diri, sampai jumpa kamis depan di acara dan waktu yang sama. Salam setara, sampai jumpa.

Tinggalkan komentar