Bangkit dan Lawan Pelaku Kekerasan Seksual

Bangkit dan Lawan Pelaku Kekerasan Seksual

KBR68H – Berbagai kasus kekerasan seksual, membuat kaum hawa cemas. Kekerasan  tidak semata berlangsung di tempat publik, tapi di lingkungan domestik. Pelakunya bisa melibatkan orang terdekat. Konferensi Perempuan Jakarta pun digagas. Wadah menyatukan suara menuntut Ibu Kota yang aman dan ramah bagi perempuan.

Thin Koesna bercerita tentang pelecehan seksual yang dialaminya. Sekitar lima bulan lalu sepulang kerja. Saat itu metromini tujuan Tanjung Priuk – Pulo Gadung yang ditumpanginya penuh sesak. “Astagrifirullah…saya lihat ke belakang, masya Allah, saya bilang ‘Maaf mas itu’, memang sudah terbuka, penisnya terbuka dan baju saya juga kena basahnya itu. Itu yang buat aku gak nyaman dan aku teriak ‘Kenapa anda ini? mending penismu itu besar, penismu itu kecil’. Saya memang berbicara seperti itu supaya menjatuhkan mentalnya dia. Orang-orang pada kaget terbengong-bengong gak nyangka bakal diomongin seperti itu,” katanya.

Thin menambahkan, “Waktu itu jam setengah enam sore, kami naik metromini, penuh sesak. Kebetulan saya berdiri di agak tengah, dorong kiri, dorong kanan, mobilnya ngerem. Pas saya sadari orang di belakang saya ini kok kasak-kusuk. Cuma kok semakin saya diamkan semakin terasa aneh, terus saya diamkan karena untuk nengokpun sulit karena orang berjubel penuh. Sampai akhirnya ada yang turun waktu itu baru saya ada kesempatan untuk maju setengah langkah baru saya liat apa yang terjadi di belakang saya.”

Meski kesal dan malu, Thin tidak berniat melaporkan pelecehan tersebut ke polisi. “Yang ada dibenak saya seperti ini. Saya menjatuhkan mental dia itu yang harus dilakukan pertama. Kedua, saya melaporkan itu bukan pada saat yang tepat, posisi kami di metromini terus si pelaku juga langsung turun begitu saya kata-katain. Jadi ya saya cuma menahan agak sedikit malu karena baju saya penuh bercak sperma itu,” ungkapnya.

Thin bukan kali ini saja mengalami pelecehan. Setahun lalu, buruh yang aktif di radio buruh Marsinah FM ini dilecehkan di depan kontrakannya. “Ketika saya bangun tidur, sholat subuh, habis itu saya pakai celana pendek saya bersihin got. Saya pikir memang sudah begitu biasanya saya bersihin got pakai celana pendek. Cuma entah dari mana motor datang, berhenti di belakang saya. Saya lagi nungging langsung (pegang pantat-red), saya kaget ‘Astagrifirullah’ dia langsung pergi. Kerokan sampah langsung saya lempar kena helmnya tapi dia gak jatuh,” ceritanya.

Jika sebagian besar perempuan tidak mau terbuka tentang pelecehan yang pernah dialami, Thin berbeda. Buruh tekstil di Kawasan Berikat Nusantara, Cakung, Jakarta Timur ini berpendapat, terbuka adalah salah satu cara untuk melawan. “Kenapa harus malu? ini bukan kemauan aku. Aku berani mengutarakan, aku berani menceritakan supaya kawan-kawan tidak mengalaminya. Setidaknya dia harus waspada. Kalau memang harus dilawan ya dilawan, tapi memang harus dilawan tidak bisa didiamkan. Kalau memang mengalami kenapa harus malu untuk menceritakan. Ini bukan aib aku, yang aku ceritakan ke teman-teman supaya mereka tidak mengalaminya dan tahu bagaimana solusinya,” tegasnya.

Korban kekerasan seksual lainnya berinisial SJ. Perempuan berusia 44 tahun ini minta nama lengkapnya tidak disebut. Ia menunjukkan bekas luka di sekujur tubuhnya. SJ mengaku mengalami kekerasan dari sang suami selama 22 tahun. “Ini bibir tembus sampai gigi satu copot, ini hidung (tulang hidung-red) putus satu, lepas. Di pelipis pernah dilempar pakai tutup drum. Di lengan kiri ada sayatan golok sepanjang 3 centimeter. Semua itu bukan hanya ke saya saja tapi anak-anak juga, mulai dari anak pertama sampai ke tiga semua kena pukulan,”katanya.

Ia tak berani melaporkan kekerasan yang dialami karena suami mengancamnya. “Saya dulu pernah ada niat untuk melapor. Cuma dia sepertinya tahu saya punya niat untuk melapor, terus dia ngancam ‘Awas ya kalau sampai kejadian ini kamu lapor ke polisi, lihat nanti. Kalau saya sampai dipenjara kamu yang tanggung akibatnya. Kemana kamu pergi saya cari, saya bunuh kamu’. Dengan kata-kata itu ibu takut, gak berani bertindak. Satu lagi kata-katanya yang paling ibu ingat kalau dia marah itu ‘Saya belum puas kalau belum nyayatin kamu’. Setiap ribut begitu,” cerita SJ.

Mirisnya lagi, setelah puas menyiksa SJ, sang suami memaksanya melakukan hubungan suami isteri. “Dia itu kalau habis mukulin kayak punya kelainan seksual, malamnya pasti ngajakin. Ibu gak bisa ngomong apa-apa. Soalnya dia ngomong ‘Ini kewajiban loh ma’. Dia tidak peduli dengan luka yang ada di tubuh saya. Katanya kalau saya tidak mengikuti berdosa,” katanya dengan suara lirih.

Tak kuasa menahan penderitaan, kesabarannya habis. Pada Juni lalu, SJ menggugat cerai.”Habis dipukul ulu hati langsung dipukul lengan tangan pake kayu. Gagang sapu sampai patah, sampai bengkak gede. Besoknya ibu berangkat kerja teman-teman ibu pada nanyain ‘Kenapa bu?’ ibu tutupin. Lama-lama akhirnya teman ibu ngasih tahu ‘Bu kalau ibu gak bertindak, lama-lama ibu mati gak bisa apa-apa’. Akhirnya ibu berfikir, ibu janji kalau sampai kejadian terulang lagi ibu harus pergi dari rumah,” jelasnya.